total ping

Tampilkan postingan dengan label Office. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Office. Tampilkan semua postingan

Kamis, 24 Maret 2011

Setelah Tiga Tahun Bekerja

Hari ini tepat tiga tahun saya bekerja, it’s quite a long time I guess. Tiga tahun bekerja bukan berarti sekarang saya memiliki tabungan yang gendut dan bisa hidup santai berfoya-foya. Umh, gaji saya bisa dibilang cukup walau tidak berlebih untuk memuaskan hasrat belanja. But I do feel fine with it.

Percaya deh, saya nggak punya tabungan dalam jumlah yang ‘wow’. Walau saya bekerja di institusi perbankan bukan berarti saya bisa menerapkan gaya hidup hemat dan rutin menabung dengan baik dan benar. Sungguh bukan contoh yang baik untuk ditiru! Iri dengan teman yang punya penghasilan bombastis dan jumlah simpanan segunung di berbagai tabungan, deposito ataupun reksadana? Pasti! Tapiii... ah nggak juga tuh.

Gaji saya memang kecil, tabungan saya juga keseringan di-break untuk jalan-jalan atau membeli sesuatu. Saya cuma karyawan biasa tapi doyan banget nonton, jalan-jalan, belanja, hang out bareng teman-teman yang pastinya membutuhkan biaya. Udah tau gaji kecil tapi kok masih aja melakoni semua hal yang dianggap ‘pemborosan’ itu, bukannya nabung. Kalau gaji gede, kerjaan mapan, baru deehh boleh ‘hura-hura’. Ah, masa iya?

Setelah tiga tahun bekerja, masih berstatus staff di sebuah bank ternama, gaji cukup (bahkan cenderung pas-pasan) dan nggak punya simpanan uang sama sekali! ‘Gila, kemana larinya duit gue???’. Semua teman dekat saya pasti kompak menjawab ‘Tuuuhh liat di lemari baju dan sepatu’. Ahahahaaa... nggak juga. Saya nggak sekonsumtif itu dalam urusan belanja. ‘Lo jalan-jalan mulu siiihh’, ya ampun kayaknya saya nggak sesering itu juga jalan-jalannya. Jadi kemana dong larinya tuh uang?

Kemana? Nggak tahu kenapa saya nggak terlalu peduli dan nggak pernah memperhitungkan kemana larinya penghasilan selama tiga tahun terakhir ini. Nominal tabungan saya di bank memang minim (banget!), tapi rasanya pengalaman hidup saya lebih kaya dibanding digit angka dalam buku tabungan tersebut. Tabungan hidup saya ada pada pengalaman, petualangan dan perjuangan yang dilakukan sampai detik ini. Hal-hal yang membuat hidup lebih berharga dan bermakna dibanding sekedar bekerja keras mengumpulkan lembaran uang.

Sampai detik bahkan saya masih sering terkejut sendiri dengan semua yang terjadi dalam hidup ini. Bagaimana passion menuntun jalan saya menuju pengalaman yang menyenangkan dalam hidup. Kesukaan saya pada film membuat saya ingin mengeksplorasi tentang film itu sendiri. Belajar film secara otodidak, rajin datang ke berbagai festival film, bertemu sesama movie freak, berdiskusi tentang film, memperbaiki cara mereview film hingga akhirnya beberapa tulisan saya bisa dipublish dalam buletin film independen. Saya hanyalah seseorang yang suka film, tapi lihat bagaimana passion telah menuntun jalan hidup saya.

Track record perjalanan saya juga tidak sebanyak orang-orang lainnya tetapi saya berusaha memaknai setiap langkah yang telah dijejakkan. Membuat saya lebih menghargai negara sendiri, belajar kebudayaan lain serta bertemu banyak orang baru yang menambah pengalaman dan petualangan dalam hidup yang hanya sebentar ini. Tiket menuju pengalaman dan petualangan baru di benua biru sih lebih dari sekedar bonus yang diberikan oleh sesuatu yang bernama passion.

Mengutip salah satu quotes favorit saya dari serial TV Ugly Betty, 'Its not how much you have, its about how you spend it', yang terpenting bukanlah berapa banyak uang yang kita miliki tapi bagaimana kita menggunakannya. Sudah menjadi kodrat manusia untuk tidak pernah merasa puas dengan apa yang dimiliki, sebesar apapun pendapatan yang dimiliki pasti akan selalu dan selalu merasa kurang. Jadi mengapa tidak mengubah pola pikir seperti itu, bersyukur dengan apa yang dimiliki dan melakukan hal-hal yang menjadi passion hidup. Waktu kita terlalu berharga jika hanya dihabiskan dengan berkutat pada pekerjaan harian demi gaji bulanan.

Jangan pernah takut mengejar passion dalam hidup masing-masing karena kita tidak pernah tahu kemana passion akan menuntun jalan hidup kita. Tabungan hidup itu jauh lebih bernilai dan bermakna dibanding nominal saldo dalam tabungan kalian. Nggak perlu merasa rugi mengeluarkan dana pribadi demi sebuah passion karena dia akan memberikan sesuatu yang lebih dari setiap sen yang telah kalian keluarkan. 

Cape seharian kerja, pulang malem pula, tapi masih diberi pemandangan cantik untuk dinikmati :)

Oh ya satu lagi, kebanyakan teman-teman saya sudah berganti tempat kerja dengan nominal gaji yang pastinya lebih besar. Salah satu cara untuk menaikkan gaji memang dengan pindah ke perusahaan baru dan ‘menjual’ kemampuan bekerja yang telah terbukti di tempat kerja lama. Ngiler juga sih ngeliat gaji mereka yang sekarang jauuuhhh di atas saya, tapi saya nggak tertarik untuk pindah kerja tuh. Bukan karena saya terjebak di zona aman, tapi karena saya menemukan keluarga kedua di tempat ini. Uang sih bisa dicari, tapi teman-teman dekat yang selalu suportif dan pengalaman dalam hidup itu tidak bisa dinilai dengan uang. 

Sabtu, 12 Maret 2011

NATO Phonetic Alphabet

Alfa, Bravo, Charlie, rasanya penggunaan kode ini untuk melafalkan alphabet sudah jamak dilakukan banyak orang. NATO Phonetic Alphabet merupakan sederet kata pada setiap huruf alphabet dan menjadi kode yang paling dikenal di seluruh dunia. Penggunaan kode ini dimulai oleh militer AS sekitar tahun 1955 dan berkembang untuk digunakan oleh perusahaan pesawat terbang. Sekarang hampir semua orang melafalkan NATO Phonetic Alphabet untuk menghindari misspelling terutama dalam percakapan telepon.

Praktisnya dalam NATO Phonetic Alphabet setiap alphabet memiliki kodenya sendiri, seperti Alfa untuk "A", Bravo untuk "B", Charlie untuk "C" dan seterusnya. Untuk lebih kode alphabet dari "A" - "Z" dapat melihat tabel berikut:

NATO Phonetic Alphabet

Sayangnya, perkembangan penggunaan NATO Phonetic Alphabet ini tidak diiringi dengan pengetahuan untuk setiap kode alphabet dan ingatan yang kurang memadai sehingga seringkali menimbulkan kejadian-kejadian konyol.

Saya pribadi tidak pernah menghapalkan NATO Phonetic Alphabet, sekedar mengetahuinya dari percakapan orang sekitar saat mereka mengeja sesuatu menggunakan kode. Paling tidak saya tahu Tango untuk "T", Sierra untuk "S" dan lainnya. Itu sih gampang karena saya tinggal mengingat huruf awal dari setiap kata tersebut, yang repot adalah saat saya diminta lawan bicara untuk melafalkan sesuatu menggunakan kode ini. Contohnya untuk melafalkan nama sendiri. 'Eeerr... Romeo, Ooo... Omega? (seharusnya Oscar), eSSS... (harus menggunakan Sandra atau Santa ya? Padahal yang benar adalah Sierra), Alfa (yang ini paling lancar)'. Fiiuhh... selesai saya membatin lega. 'Alamat emailnya apa ya mba?' orang di seberang telepon melanjutkan pertanyaan. 'rossaindah.k@gmail.com' saya menjawab lancar sembari menghilangkan kram di otot lidah. 'Bisa di spell mba?'. What??? (moral cerita: jangan membuat alamat email terlalu panjang).

Kejadian seperti ini sering ditemui di kantor saya. Biasanya bagian remittance yang khusus menangani pengiriman transaksi valuta asing menelepon untuk memastikan kembali nama penerima atau kode sandi bank di negara yang dituju. Bagi yang sering menelepon dengan suara besar maka contoh percakapan di bawah ini dapat didengar ke seluruh ruangan.

Kondisi: Salah satu nasabah menanyakan asal-usul sumber dana yang masuk ke rekeningnya via telepon.

'Nama pengirimnya Samwise Gamgee* bu', rekan kantor berusaha menyebutkan sebuah nama sejelas mungkin.

'Wise bu, seperti wise dalam artian bijak dalam bahasa Inggris', masih berusaha menjelaskan ejaan dari nama tersebut.

'W - I - S - Eeee.... Gamgeeee..', dan sekarang dia terlalu banyak menggunakan huruf "E".

'Yang belakang "E"nya dua bu', teman-temang kantor mulai ramai berkomentar mendengar teman yang kerepotan menyebutkan nama pengirim. 'Ih jorok, kalau "E"nya dua kan berartiii.....'

'Eh, di-spell ya bu', terdengar ragu-ragu namun akhirnya dia mencoba juga. Dengan teman-teman kantor yang ikut mendengar percakapan telepon dan komentar yang menjatuhkan mental maka tekanan menggunakan kode alphabet menjadi semakin besar. 'Sierra, Alfa, Mama, Willy (?), India, Sandra (?), Eliana (?)....' so far so good... dia terlihat lega dan melanjutkan 'Gatot, Alfa, Maemunah, Gatot, Endang, Endang' dan meledaklah tawa satu kantor. 'Kok dari nama elit jadi nama nggak elit gitu siiiihhh...' (Notes: tidak ada maksud untuk melecehkan atau merendahkan sebuah nama karena nama memiliki arti dan doa, yang terjadi disini adalah spontan dan tidak bermaksud rasis).

Beda kasusnya dengan seorang teman yang memang urat malunya sudah putus. Karena memang tidak tahu menahu dengan NATO Phonetic Aplhabet maka apapun yang dia spell adalah apa yang sedang terlintas di kepala saja. Contohnya:

'Iya, pinjem Cheque Writer dong dari cabang sana. Disini lagi rusak nih'

'Iya, yang untuk mengembose nominal cek ituuu...'

'Ya ampun, Cheque Writer. Charlie, Hama, Entog, Qiuqiu, Udang, Entog, Wewe gombel, Rumah, Ikan mas, Televisi, Entog, Rumah rusak' nah looo... tambah pusing nggak tuh yang jadi lawan bicaranya.

Atau kejadiannya saat merinci perlengkapan kantor yang dibutuhkan untuk sebulan ke depan.

'Mbaa... aku mau jepit buaya dooong...' saya selalu butuh jepit besar seperti ini tapi tidak pernah tahu namanya.

'Jepit buaya?' Siapapun pasti bingung dengan nama pemberian saya ini.

'Itu looohh... penjepit kertas yang besar warnanya item mba..'

'Ooohh itu.. apa ya itu namanya' nah loo... dia juga bingung.

'Binder itu namanya binder' sambung si teman yang spellingnya selalu ngaco.

'Bukaaannn... binder tuh yang untuk filing kertas, ini tuh untuk penjepit kertas. Namanya tuh jepit buaya tau' saya malah ngotot nggak jelas.

'Binder itu binder. Bandung, Ikan, Nenek genit, DabaDaba, Entog, Rumah sakit'.

'Lo tuh yang sakit'.

Jepit buaya yang dimaksud. Setelah di search di google ternyata namanya binder clips. Saya dong yang 'sakit' jadinya.

Kalau pengalaman Cipu beda lagi. Saat pesan pizza take away di salah satu kedai pizza terkenal se-Indonesia, pelayannya meminta Cipu untuk men-spell namanya.

'Charlie, India, Papa, Uniform' Sempurna! Tidak ada kesalahan sama sekali. Setelah itu Cipu diminta untuk menunggu sebentar di tempat yang tersedia. Beberapa menit kemudian pesanan Cipu selesai dan pelayan tersebut memanggil Cipu. Yang terjadi adalah sebagai berikut:

'Mas Cipy. Pesanan untuk mas Cipy.'

Cipu yang tidak merasa dipanggil tetap saja duduk tenang adem ayem.

'Mas Cipy, ini pesanannya mas' pelayan tersebut memanggil kembali dan panggilan tersebut ditujukan kepada Cipu.

'Pesanan saya mas?' Cipu berusaha meyakinkan.

'Iya, mas Cipy kan?' tanya pelayanannya innocent. Dan Cipu langsung ngeh, ternyata pelayan ini menyangka "Y" untuk Uniform, bukan "U" untuk Uniform. Ssstt mas, Uniform loh yang bener, bukan Yuniform.

Dari kejadian-kejadian ini, mungkin ada baiknya sekarang saya menghafalkan NATO Phonetic Alphabet. Cape juga kan kalau keseringan kram lidah gara-gara misspelling. Gimana dengan kalian? Share dong cerita konyolnya dengan NATO Phonetic Alphabet ini.

Catatan: Penggunaan nama Samwise Gamgee merupakan contoh dan bukanlah nama nasabah saya yang sebenarnya. Samwise Gamgee merupakan salah satu karakter di film The Lord Of The Rings dan saya berkewajiban menjaga kerahasiaan data nasabah (ceileee.. kalimatnya serius banget).  

Kamis, 24 Februari 2011

Umur, Pekerjaan dan Masa Depan

Menjadi yang termuda di kantor sepertinya selalu membawa konsekuensi tersendiri. Mulai dari dianggap kurang kompeten, masih manja, childish, tidak mampu berbaur dalam lingkungan kerja, egois dan lain sebagainya yang bernada sinis dan negatif. Peran saya di kantor sih komplit banget, menjadi yang termuda dan tidak memiliki latar belakang ilmu perbankan sama sekali. Sulit untuk menggambarkan bagaimana lingkungan kerja 'memandang' saya pada masa itu. Tekanan yang demikian sangat besar membuat saya bersahabat dengan toilet, sebuah tempat aman dimana saya bisa menangis tanpa harus terlihat cengeng. Ergh, If only you know what I feel

Untungnya saya adalah tipe orang yang tidak terima jika dipandang sebelah mata oleh orang lain. Semakin besar orang lain meng-underestimate maka semakin gigih perjuangan saya untuk membuktikan kalau saya bisa. Jadi saya mulai melihat kelebihan-kelebihan rekan kerja, tidak lelah dan selalu mau belajar dari mereka serta mencari celah agar atasan dapat melihat peningkatan kinerja saya. Voila, setelah satu tahun lebih bekerja atasan mempercayakan saya untuk pindah ke bagian lain dengan prestige yang (hopefully) lebih baik. 

Ada kepuasan tersendiri ketika saya berhasil membuktikan kepada orang-orang yang underestimate tersebut kalau ternyata saya bisa. Bahwa semua pikiran negatif mereka itu salah. From nobody became somebody. Menyenangkan saat orang lain mengakui kelebihan kita, menghargai usaha kita dan (ehem) menyadari secara diam-diam kalau mereka salah telah meng-underestimate kita. Satu hal lain yang membuat saya lebih menikmati fase ini karena saya adalah yang termuda di kantor. Haha, saya memang yang termuda di kantor tapi kalian tidak bisa meremehkan kemampuan saya begitu saja. (Notes: statement yang terdengar sangat culas  namun sepertinya sebanding dengan semua perjuangan saya untuk sebuah 'pengakuan').

Sayang, sepertinya sekarang saya terjebak di zona aman. Setelah pindah ke kantor pusat tiba-tiba pekerjaan saya menjadi bukan main banyaknya. Tidak ada waktu lagi untuk memperkaya diri dengan ilmu-ilmu baru yang nantinya berguna sebagai nilai jual di mata atasan. Sementara itu teman-teman lain yang baru masuk menguasai beberapa pekerjaan yang sama sekali baru untuk saya. Dari sini saya menjadi belajar, tidak selamanya predikat the youngest and toughest girl in the office dapat terus bertahan. Akan selalu ada saingan baru, pekerjaan baru dan ilmu baru yang jika tidak dikejar akan membuat kita tertinggal di belakang. Umur pun akan selalu bertambah setiap tahunnya dan hari ini umur saya bertambah satu :)

Hari ini umur saya genap 25 tahun. Sebuah fase kehidupan yang membuat saya sedikit gentar untuk memasukinya. 25 tahun berarti 1/4 abad sudah saya hidup di dunia ini. Lalu apa yang telah saya lakukan? Apa yang sudah saya hasilkan? Apa yang sudah saya capai? Hati saya sedikit berbedar saat mengingat 25 tahun adalah sebuah usia dewasa. Apakah saya sudah dewasa? Apa ukuran kedewasaan itu? Bagaimana jika lingkungan tak bosan-bosannya menilai saya belum dewasa? Berbagai pertanyaan tentang fase umur 25 tahun ini terus berputar di kepala saya hingga seorang teman bertanya, 'Lima tahun dari sekarang lo mau ngapain?'.

Akhir-akhir ini rasanya beberapa orang menanyakan pertanyaan yang sama dan saya selalu tidak punya jawabannya. Mungkin saya adalah tipe orang yang lebih suka berpikir dalam jangka pendek, saya lebih suka mengerjakan apa yang ada di depan mata sebaik mungkin, urusan masa depan itu belakangan. Memang tidak baik sih pemikiran seperti ini karena setiap orang harusnya memiliki perencanaan jangka panjang yang cukup matang. Tapi saya selalu kesulitan untuk menemukan jawaban 'akan jadi apa saya lima tahun yang akan datang?'. 

Saat ditanya rencana menikah, saya hanya angkat bahu. Bukan bermaksud skeptis atau apa, hanya saja rencana menikah tampaknya masih sangat jauh dari bayangan saya. Mengingat fakta bahwa saya juga belum menemukan Mr. Right jadi saya tidak pernah memikirkan urusan menikah. Kalau saya jawab rencanya lima tahun ke depan adalah ke Paris, teman-teman malah menahan tawa dan sedikit mencemooh, 'Ngapain ke Paris?' tanya mereka. 'Pengen liat Eiffel' jawab saya asal. Sepertinya untuk beberapa tahun ke depan saya hanya ingin melakukan passion yang ada. Itu artinya jalan-jalan, nonton, bertemu banyak teman-teman baru dan menulis. 

Untuk sebagian besar orang mungkin passion bukanlah apa-apa. Bagi saya passion adalah segalanya. Dia adalah bahan bakar yang membuat saya selalu bersemangat menjalani hidup. Dia membuat hidup saya lebih berwarna dan membuat saya lebih mengenal diri sendiri. Mungkin saat ini saya lebih cocok dibilang berada dalam fase ingin menikmati waktu yang dimiliki untuk mengeksplor apa yang disukai. Saya hanya ingin dikelilingi orang-orang yang saya sayangi dan menyayangi saya. Kalau Mr. Right tiba-tiba datang dan mengajak menikah anggap saja itu bonus :)

Is thinking.... Oohh masa depan...

Ok, jadi kesimpulan dari tulisan ini adalah: Sekarang saya 25 tahun, bekerja dalam zona aman yang secara perlahan-lahan akan membuat saya mati bosan, dan ummmhh.... masih single. (Notes:  for the last statement, should I be proud or cry like a baby? lol).


PS: Sedikit malu untuk mengakui, namun beberapa minggu ini saya belum sempat menulis sesuatu yang lebih berisi dan blogwalking ke tempat teman-teman. Maafkanlah, pekerjaan saya bulan ini super duper menumpuk. Sebisa mungkin saya akan segera kembali dalam dunia blogosphere. Terimakasih untuk yang setia mampir dan meninggalkan komentar di halaman Merry go Round :)

Sabtu, 25 September 2010

Foto Berbicara: Office


Menjadi blogger secara tidak langsung dapat menyalurkan mimpi saya menjadi reporter. Tidak jarang dalam berbagai event di kantor saya berperan sebagai seksi dokumentasi. Lucunya saya lebih suka mengambil foto dari event non-formal, alias mengamati kejadian yang menurut beberapa orang tidak terlalu penting sehingga hasil jepretan saya hanya masuk dalam file pribadi, bukan untuk disebarkan lewat media internal kantor. Tidak masalah, justru saya bisa bercerita banyak dari 'foto tidak penting' tersebut, karena setiap tempat (termasuk kantor) memiliki kebiasaan dan budaya yang berbeda bukan.

Selamat Ulang Tahun
Tradisi minta ditraktir oleh teman yang sedang berulang tahun sih bukan hal yang aneh. Akan menjadi hal yang berbeda kalau ini terjadi di kantor saya, hukum mentraktir rekan satu ruangan (kira-kira 30 orang) adalah wajib dan harus dilakukan. Untuk membuat yang berulang tahun mau mengeluarkan budjet lebih untuk membeli makan siang ekstra dilakukanlah trik tertentu, mulai dari yang paling biasa (sekedar mengingatkan atau menyindir secara halus) sampai yang paling ektrim:



Selebaran berisikan info (terkadang plus foto) yang berulang tahun akan bertebaran di seluruh sudut ruangan: meja setiap orang, mading, tempat absen, mesin fotokopi, di dekat jam dinding, pintu masuk, tidak ada yang luput dari serangan selebaran ini. Kalau super apes selebaran bisa mampir ke ruangan divisi lain, yang artinya kuota orang yang harus ditraktir bertambah banyak. Mau melepaskan sendiri semua selebaran adalah usaha yang sia-sia, karena tetap akan bermunculan sampai traktiran diberikan. Kalau traktiran sudah tersedia, otomatis selebaran akan dibersihkan dengan sukarela.

Sampai hari ini, yang selalu mendapat teror seperti ini adalah kaum adam. Alasannya sudah pasti karena mereka paling sulit diminta jatah traktiran. Kalau kaum hawa sih biasanya sudah mengantisipasi kejadian ini dengan membawa makanan atau membelikan jatah makan siang.

Dilarang Makan Disini
Saya: 'Pus, sejak kapan ada larangan itu disini?'.

Pusti: 'Larangan apa?'.

Saya: 'Itu....'.


Pusti: 'Haaahh.... sejak kapan? Gue baru liat deh'.

Saya: 'Makanya gue nanya karena gue juga ngga tau dodol'.

Pusti: 'Eh, tapi kan kita emang ngga boleh makan di meja kerja. Kayak sarapan ato makan siang gitu kan di pantry'.

Saya: 'Terus, cemilan apa nasibnya dong?'.

Pusti: 'Iya ya.....'.

suram

Pusti: 'Tapi ko peringatannya mojok gitu sih? Kenapa ngga dipasang di pintu masuk aja'.

Saya: 'Yeey... kalo dipasang di pintu masuk sih sekalian aja tulisannya diganti 'Dilarang memberi makan kepada staff dalam ruangan ini'. Lo kira kita kebon binatang apa'.

Sindrom Pasca Lebaran
Tidak perlu khawatir kalau lebaran kemarin tidak kebagian jatah cuti dan tidak bisa pulang kampung karena oleh-oleh dari rekan yang beruntung bisa mudik akan mengalir lancar. 

Awalnya seperti prasmanan, lebih esklusif. Makanan khas lebaran seperti tape uli dan kue-kue lebaran masih tersedia.



Lama-kelamaan lebih sering bertebaran berbagai keripik, kerupuk, dan makanan kering khas daerah masing-masing. Ada kerupuk kemplang dari Lampung, kerupuk ikan dari Palembang, kacang disko dan kacang koro dari Bali, keripik nangka dari Malang, dan berbagai makanan kering lain yang saya tidak tahu asalnya numplek di salah satu meja kerja yang kosong. Karena divisi saya  banyak berhubungan dengan berbagai divisi maka setiap hari ada saja cemilan baru yang diberikan divisi lain. Inilah penyebab utama mengapa berat badan dengan mudahnya naik setelah lebaran.



Akhirnya, dengan sekian banyak cemilan dan tidak sedikit yang belum habis, tumpukan makanan ini terlihat mengganggu dan mengundang berbagai binatang pengganggu. Hingga akhirnya atasan menegur dan menyuruh kami membereskan semuanya. Kalau sudah begini baru deh mikir, mungkin peringatan yang saya bahas sebelumnya memang sebaiknya diterapkan ya.

Rabu, 08 September 2010

Buka Puasa ala Komuter

Ampun deh, besok udah lebaran tapi baru bikin postingan ini sekarang. Apa daya, tenaga dan waktu saya benar-benar terkuras di bulan maha suci ini. Jangankan untuk menunaikan tarawih, di waktu sahur saja saya masih sering tertidur di meja makan. Baru kali ini saya merasa kesulitan mengatur waktu kerja dan waktu pribadi. Jangankan untuk menulis satu postingan baru atau blogwalking, membuka layar laptop saja rasanya tidak sanggup. Saya mohon maaf, beberapa waktu ini belum sempat berkunjung balik ke tempat teman blogger lain.

Kembali ke judul dari tulisan ini, hampir semua kantor rasanya memajukan jam pulang agar para karyawan dapat berbuka puasa dengan keluarga. Kantor saya mempercepat jam pulang setengah jam lebih awal, jadi pukul 16.30 karyawan sudah bisa pulang. Sayangnya, bagi komuter seperti saya pencepatan jam pulang ini tidak memiliki dampak yang cukup berarti. Tetap saja saya tidak bisa berbuka puasa di rumah karena terhambat masalah klasik khas Ibukota Jakarta. Pilihannya ada dua, berbuka puasa di kantor atau di jalan.

Buka Puasa di Kantor
Hal ini bisa terjadi karena beberapa hal: pekerjaan belum selesai, jalan terlalu macet atau hujan deras. Di kantor lama, biasanya menjelang magrib saya bersama beberapa teman keluar kantor untuk mencari tajil. Mendekati waktu berbuka, kami semua berkumpul di banking hall. Semua personil komplit, mulai dari teller, costumer service, back office, sampai para suvervisor kemudian berbuka puasa bersama, makan bersama, dan salat berjamaah. Rekan kerja non muslim juga ikut larut dalam suasana berbuka puasa, mereka ikut menyantap tajil dan mengobrol bersama kami. Walau tidak bisa berbuka puasa di rumah, tapi rasanya hati ini jadi tentram karena memiliki keluarga kedua di kantor dengan ikatan yang demikian solid.

 Pemandangan jam dinding dari meja saya. 20 menit lagi menuju waktu berbuka.

Sebetulnya saya lumayan dimanjakan jika berbuka puasa di kantor yang sekarang. Office boy sudah menyediakan teh manis hangat dan tajil seadanya untuk membatalkan puasa. Hanya saja, suasana buka puasa terasa hambar dan pedih untuk saya. Kebanyakan teman sudah pulang ke rumah masing-masing, yang tersisa hanya segelintir orang, itupun mayoritas non muslim dan mereka tetap sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Saya berbuka puasa sendiri, di meja kerja, dengan meja yang masih penuh dengan tumpukan transaksi. Kalau sudah begini rasa kangen rumah bisa timbul berlipat ganda, pasti menyenangkan jika bisa berbuka dengan keluarga, berdoa bersama kemudian menyantap tajil buatan mama diselingi obrolan hangat.

 Kurang lebih, seperti inilah suasana berbuka puasa di kantor.

Fakta: Setiap orang di kantor membutuhkan minimal dua gelas teh untuk berbuka puasa.

Buka Puasa di Jalan
Ini adalah pilihan yang tidak bisa dihindari dan baru saya alami di ramadhan tahun ini . Biasanya saya lebih memilih berbuka puasa di kantor daripada di jalan, tapi suasana kantor yang dingin membuat saya ingin cepat-cepat sampai di rumah. 

Untuk berbuka puasa di jalan, diperlukan amunisi lengkap untuk berbuka puasa. Biasanya saya bekal teh manis hangat dalam tempat minum. Untuk tajil, beda lagi ceritanya. Karena berbuka puasa di atas bus, maka keinginan untuk menyantap kolak atau es buah harus dikubur dalam-dalam. Kecuali siap dengan resiko baju ketumpahan kuah kolak atau es buah. Jadilah selama bulan puasa ini saya setia dengan menu lontong dan gorengan untuk mengganjal perut sampai di rumah. Aih, padahal saya selalu menghindari gorengan di bulan biasa. Darimana saya bisa mendengar adzan dan mengetahui waktu berbuka? Tidak mungkin dari pengamen pastinya, maka radio menjadi sahabat terbaik saya. Pilihan jatuh ke Prambors yang menyiarkan sandiwara radio 30 menit menjelang waktu berbuka. 

Saat adzan berkumandang, saya mencolek teman sebelah untuk memberitahu waktu berbuka telah tiba. Info ini biasanya akan menyebar ke seantero bus. Lalu terjadilah solidaritas antar komuter, setiap orang menawarkan bekal berbuka puasanya. Ada yang niat membawa kurma dalam tempat makan, membawa aqua gelas dalam jumlah banyak kalau-kalau ada penumpang yang lupa membeli minum, dan yang paling umum adalah membawa beberapa potong roti untuk dibagikan. Semua orang berlomba-lomba untuk berbagi dan memastikan yang berpuasa memiliki cukup makanan dan minuman untuk disantap. 

Lagi-lagi, pengamen menjadi musuh utama saya. Dengan genjrang-genjreng gitar mereka yang berisik, rasanya suara adzan kehilangan maknanya. Belum lagi pengamen datang silih berganti, menyanyikan lagu berbeda dengan tingkat keributan yang sama. Sangat memerlukan kesabaran ekstra. Paling ngenes melihat teman komuter yang tidak kebagian duduk. Mereka harus berdiri sambil berbuka puasa, kemudian melanjutkan perjuangan hari itu dengan berdiri selama 2 jam sampai ke tempat tujuan. Disini, tingkat kesabaran benar-benar diuji. Karena sudah membatalkan puasa, rasanya kemarahan begitu mudah dipancing. Penyebabnya antara lain pengamen yang kekeuh mengamen di kepadatan bus atau kondektur yang memaksa terus mengisi bus dengan manusia.

Di atas bus yang melaju kencang, suara adzan yang berkumandang syahdu di telinga, teman-teman komuter senasib sependeritaan dan makanan seadanya, hati ini terasa tergetar karena saya memiliki pengalaman berbuka puasa yang lain. Langit Jakarta mulai berubah, dari terang menjadi jingga untuk kemudian gelap pekat. Jalanan juga mulai dipadati kendaraan dan bus mulai melambat untuk kemudian berhenti sama sekali dalam kemacetan. Rumah rasanya masih sangat jauh, tapi saya merasa bersyukur dengan segala rejeki dariNya dan merasa beruntung dapat merasakan pengalaman ini.

Semoga teman-teman blogger juga mendapat pengalaman berharga selama bulan ramadhan tahun ini.

Selamat hari raya Idul Fitri.
Mohon maaf lahir dan batin.

Regards,      
Merry go Round

Minggu, 29 Agustus 2010

Cerita Si Uang Baru


Selain silaturahmi, maaf-maafan, baju baru, ketupat, rendang, opor ayam (nyam!), hal lain yang identik dari Lebaran adalah salam tempel. Lebih bagus lagi kalau uang yang digunakan masih kaku tanpa lecek. Apalagi tahun kemarin saat pecahan Rp2000 baru keluar, wih rasanya jadi orang paling keren kalau bisa bagi-bagi angpau dengan uang baru dan pecahannya belum banyak tersebar di Indonesia. Sepupu-sepupu saya yang ada di Bengkulu saja sampe terkagum-kagum liat pecahan Rp2000 itu, otomatis mereka lebih bangga memamerkannya ke teman-teman yang tidak memiliki uang serupa.

Menjelang Lebaran, apalagi saat THR sudah dibagikan, transaksi perbankan jadi meningkat. Kebanyakan orang datang ke bank untuk menukar uang yang dimiliki dengan uang baru dalam berbagai denom kecil. Banking hall secara otomatis jadi beraroma uang baru yang selalu sukses membuat saya bersin-bersin (debu hasil serpihan potongan kertas dalam uang baru itu jahat banget). Bank Indonesia sendiri selalu stock uang baru saat menjelang Lebaran, Natal, dan Tahun Baru Cina. Yah, kasus uang baru ini seringkali terlihat 'lucu' dari mata saya sebagai teller.

Bank Vs Inang-Inang
Percaya atau tidak, stock uang baru yang dimiliki bank jauh lebih sedikit dari yang dimiliki oleh inang-inang (orang-orang yang bergerak dalam bisnis penukaran uang kecil, dapat banyak ditemui di berbagai titik strategis seperti di jalan protokol, terminal, stasiun). Saat head teller harus adu urat leher dengan vendor untuk mendapat pecahan uang baru sebanyak mungkin, inang-inang dengan santainya menumpuk semua pecahan uang yang mereka miliki di jalan raya. Tumpukan yang mereka pamerkan jauh lebih banyak daripada yang ada di khasanah (ruang penyimpanan uang) bank. Saat kami harus putar otak agar semua nasabah mendapat jatah uang baru secara adil merata, dengan santainya inang-inang menjual uang baru tersebut tanpa takut kehabisan stock. 

Berasa sedikit miris sih, masyarakat harus 'membayar' untuk mendapatkan uang baru dari inang-inang, sedangkan bank yang dapat memberi penukaran uang secara fair malah tidak mendapat stock uang yang cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Uang dijual? Terdengar aneh dan janggal di telinga saya.

Berapa banyak?
Berapa banyak sih uang yang dibutuhkan untuk salam tempel? Saya pribadi tidak suka memiliki uang kecil terlalu banyak, ribet untuk menghitung, membayar, dan memperkirakan berapa jumlah total uang tunai yang dimiliki. Seringkali dompet saya hanya berisi selembar uang Rp100.000, saya lebih suka membayar transaksi dengan kartu debit/kredit. Praktis, cepat, plus tidak membutuhkan kembalian.

Seringkali, uang yang dialokasikan untuk salam tempel tidak habis dan mau tidak mau harus dibelanjakan oleh saya sendiri. Ini mendatangkan masalah baru lagi, saya sayang membelanjakan uang yang masih kaku tersebut, akhirnya malah mengambil uang tunai dan uang baru tersebut nangkring di dompet untuk waktu lumayan lama. Belajar dari pengalaman, akhir-akhir ini saya tidak terlalau bernafsu untuk menukar uang baru. Secukupnya saja.


Berbeda dengan teman-teman lain. Kalau dijumlahkan, satu ruangan saya yang berjumlah 23 orang saja membutuhkan uang baru berbagai denom dengan total Rp. 60juta. Hebat bukan. Seorang teman sampai menukarkan bertumpuk-tumpuk uang baru. Seorang lain yang tidak merayakan Lebaran malah lebih ribet dibanding yang merayakan, lebih ngotot untuk mendapat uang baru sebanyak mungkin. Dan pertanyaan saya adalah, untuk apa uang sebanyak itu? Apa iya untuk salam tempel semua?

Arogansi Uang Baru
Akhirnya pertanyaan saya tentang banyaknya uang yang ditukarkan di atas terjawab. Seorang teman kekeuh banget menukarkan pecahan Rp10.000, alasannya 'Ini untuk jatah beli bensin suami gue. Setiap hari 2 lembar sepuluhribuan'. Oooohh... untuk beli bensin pun butuh uang baru ternyata. Hampir semua jawaban yang diberikan masuk dalam kategori tidak memuaskan dan tidak masuk akal, yang dalam pemikiran akal sehat saya, transaksi seperti itu masih bisa dilakukan dengan uang 'biasa'.

Menjadi seseorang yang bekerja di industri perbankan ternyata terkadang menimbulkan arogansi terhadap 'wujud' uang. Beberapa rekan kerja, dengan posisi lebih tinggi dari saya tentunya, setiap hari selalu menanyakan stock uang baru, saat saya bilang 'Ngga ada uang baru mba, adanya uang layak pakai. Emang kenapa sih musti uang baru?', dijawab dengan lempeng dot com 'Abis kalo uang mbusuk nanti dompet gue jadi bau'. Jeda cukup panjang diantara kami berdua. Untuk kemudian saya termangu, speechless sejadi-jadinya. Wow, harga dompetnya pasti mahal banget.

Berbeda dengan beberapa atasan, setiap transaksi harus dikembalikan dengan uang baru, tidak boleh ada lipatan sedikitpun, sampai head teller harus membuka stock uang baru yang ada demi memenuhi tuntutan si atasan. Waktu itu saya masih anak baru, dengan polos saya memberi uang layak pakai untuk transaksi penarikan si atasan, dengan arogannya sang atasan berkata 'Masa saya dikasih uang buluk. Saya ngga pernah mau pake uang buluk. Saya cuma mau uang baru' dengan nada sedikit sinis dan membentak. Wow, saya sampai shock. Ternyata yang penting bagi para atasan bukanlah nominal yang dimiliki, tetapi lebih kepada wujud uang tersebut. FYI, uangnya layak pakai banget, bukan uang buluk.

Untuk saya, fungsi uang adalah sebagai alat pembayaran. Tak peduli uang tersebut baru atau tidak, yang penting asli dan dapat digunakan. Miris melihat beberapa teman yang segitunya sama uang baru, ngomel-ngomel kalau di ATM khusus karyawan yang menyediakan pecahan kecil tidak diisi dengan uang baru. Toh uang yang ada juga pasti akan digunakan kan, jadi kenapa sampai segitunya sih sama uang baru?

Beberapa nasabah memiliki cerita berbeda. Setiap hari saya sudah kenyang dengan pertanyaan 'Ada uang baru ngga' dan menjawab 'Uang barunya lagi kosong, adanya uang layak pakai'. Kemudian nasabah tersebut berkata, 'Kok ngga ada terus sih uang barunya, suruh BI cetak lagi dong yang baru'.

Tahukah Anda nasabah yang terhormat dan teman-teman tersayang, dengan banyaknya uang yang beredar di masyarakat (baik uang lama maupun baru) maka tingkat inflasi Indonesia akan semakin tinggi. BI tidak bisa mencetak uang baru sekehendak hati. Saat akan mencetak yang baru maka uang yang sudah tidak layak pakai atau mbusuk akan ditarik dari peredaran untuk kemudian dihancurkan. Ini ditujukan agar sirkulasi uang yang beredar di masyarakat bisa tetap dijaga. 

Dan tahukah Anda, untuk mencetak uang baru, dibutuhkan dana yang tidak sedikit. Sekarang saya tanya, apakah Anda sudah menjaga fisik uang sebaik mungkin? Berapa sering Anda melipat atau mungkin meremas uang yang baru karena tidak rela uang tersebut berpindah tangan? Berapa lembar uang yang pernah Anda corat-coret? Berapa tumpuk uang yang secara tidak sengaja ikut tercuci atau terendam air hujan? Padahal dengan menjaga fisik uang, uang tersebut bisa digunakan lebih lama sehingga BI dapat mengurangi kuantitas uang yang harus dihancurkan.

Lebih ngenes lagi mengingat perlakuan yang sama sekali berbeda terhadap mata uang asing. Hampir semua orang mengecek lembar demi lembar untuk memastikan tidak ada lipatan atau coretan karena nilai dari mata uang tersebut dapat berkurang. Mata uang asing juga disimpan secara hari-hati dalam amplop tebal, brankas, ataupun safe deposit box. Jadi jangan heran, berapa pun tahun pencetakan mata uang asing, dapat dipastikan kalau uang tersebut masih licin tanpa cacat sedikitpun.

Ah Rupiah... nasibmu.

Sabtu, 21 Agustus 2010

Belajar Berempati

Rabu (19/8) siang kemarin, kantor saya digemparkan oleh berita di detiknews.com yang mengabarkan CIMB Niaga cabang Medan dirampok. Berita tersebut beredar dengan cepat ke seluruh karyawan CIMB Niaga via internal email maupun BlackBerry Messenger. Saat itu berita masih simpang siur, namun dikabarkan peristiwa perampokan memakan korban satu orang tewas dan uang sejumlah 200juta lebih lenyap dibawa para pelaku. Walau kejadian tersebut jauh dari Jakarta, tapi seisi kantor cemas memikirkan keadaan rekan-rekan CIMB Niaga Medan yang mengalami kejadian tersebut. 


Sore hari, mama mengirim sms,
'Teh, perampokan sadis di bank CIMB Niaga Medan. Satu polisi tewas tertembak. Mama jadi khawatir sama kamu, tapi untung sekarang kamu ngga di depan lagi ya'.

Besok paginya, beberapa teman menelpon saya sehubungan dengan kejadian tersebut. Mereka cemas sekaligus bersyukur karena saya sudah pindah ke bagian back office.
'Ochaa... untung aja lo udah pindah ke belakang. Coba kalo masih di depan trus bank lo kerampokan, gw ngebayanginnya aja udah serem Cha'.

Yang paling mengejutkan, adik saya ikut mengirim sms sehubungan kejadian tersebut,
'Teh, CIMB Niaga di Medan kan dirampok 1.5 miliar ya. Trus lo ntar msh dpt THR gak???'.
Hm, dia sih jelas bukan cemas dengan keselamatan saya di tempat kerja, tapi lebih karena takut tidak kebagian jatah lebaran karena si kakak tidak dapat uang THR.

Well, back to the topic. Saya tidak ingin terlalu banyak menebar humor di tulisan ini, karena saya, kami, seluruh keluarga besar CIMB Niaga prihatin dengan kejadian ini. Kami berduka karena satu jiwa melayang dari peristiwa kemarin, dua orang satpam harus dirawat karena luka tembak yang cukup parah, belum lagi traumatis yang dialami semua rekan CIMB Niaga Medan.

Kejadian kemarin mengingatkan saya akan resiko pekerjaan seorang teller. Tidak ada yang mengira, teller yang seharian hanya bekerja di balik meja ternyata menyimpan resiko pekerjaan teramat besar. Dari kejadian kemarin, setelah brimop dan satpam berhasil dilumpuhkan perampok, maka lini depan yang mengawal keseluruhan uang di dalam bank adalah para teller. Dalam kondisi tersebut, apa yang harus teller lakukan? Mereka tidak pernah diajarkan atau dilatih untuk menghadapi kondisi seperti ini. Di bawah todongan senjata mereka dipaksa menyerahkan semua uang yang ada. Batas antara hidup dan mati terlihat tipis dalam kondisi seperti itu, belum lagi jika para perampok tergolong nekat.

 Siapa yang ngga stress ditodong senjata kayak gitu

Seorang teller, dari jam 8 pagi sudah menjalankan tugasnya untuk melayani transaksi harian nasabah sampai jam 4 sore. Menghitung dan menjalankan perputaran uang ratusan juta rupiah setiap harinya. Teller juga tidak hanya melayani transaksi tunai nasabah, tapi juga transaksi non tunai seperti transfer antar bank, pengiriman valuta asing, ataupun pembayaran pajak. Ditambah dengan antrian panjang nasabah dan service quality yang dijunjung tinggi, maka teller harus tampil sesempurna mungkin karena mereka adalah ujung tombak yang mencerminkan citra dari bank yang bersangkutan.

Resiko lain yang sering dihadapi teller adalah selisih uang. Bisa terjadi karena nasabah kurang menyetorkan uang tunai, atau karena teller kebanyakan membayar uang untuk nasabah. Sepertinya hanya teller ceroboh yang akan mengalami kondisi seperti ini, tapi kebanyakan teller pasti pernah mengalaminya. Jumlah selisih bervariasi, mulai dari nominal paling kecil sampai angka puluhan juta rupiah. Tentu saja, yang harus bertanggung jawab dan mengganti semua selisih itu adalah teller yang bersangkutan. Hampir ketinggalan, jika ada uang palsu yang lolos dari pengamatan teller dan ditolak oleh BI, maka teller juga yang harus mengganti uang palsu tersebut.

Perputaran uang yang besar, nasabah mengantri, pekerjaan menumpuk, rasanya wajar jika sesekali konsentrasi teller terpecah sehingga terkadang mereka lalai menghitung atau menyortir uang. Tanpa bermaksud membela kesalahan teller (dan beberapa kesalahan yang pernah saya lakukan saat menjadi teller) tapi rasanya sangat manusiawi jika mereka sesekali melakukan kesalahan.

Semua front line (baik teller ataupun costumer service) selalu berusaha memberikan kualitas pelayanan yang memuaskan bagi nasabah. Hal ini bukan semata-mata mereka tunduk pada SOP yang berlaku, tetapi lebih karena dedikasi terhadap pekerjaan dan perusahaan. Mereka sadar betul bahwa kualitas pelayanan yang diberikan akan menampilkan citra dari bank tempat mereka bekerja. Demi hal tersebut, tak jarang para front line mengorbankan waktu makan siang jika antrian nasabah terlihat mengular. Jangankan untuk istirahat makan siang, untuk ke toilet pun rasanya sulit karena antrian nasabah tidak kunjung habis. 

Beberapa hal kecil lain yang saya alami saat menjadi teller:
1. Makan siang di atas jam 4 sore, di meja kerja sambil mengerjakan rekap harian.
2. Menahan rasa jijik saat harus menghitung bertumpuk-tumpuk uang kumal yang sudah tidak layak pakai secara manual.
3. Menghitung uang 2M menggunakan mesin untuk dibayarkan kepada nasabah. Dan saat itu saya sangat membenci sepatu ber-hak 7cm yang dipakai saat itu.
4. Menelan semua makian nasabah yang marah-marah, sambil tetap tersenyum dan berusaha memberi penjelasan. Walaupun yang salah adalah nasabah yang bersangkutan.
5. Selalu sport jantung saat menghitung saldo harian, 'Duh, selisih ngga ya gue'.
6. Kram jari saat harus menghitung manual uang ratusan juta untuk mencari selisih.

Semua pengalaman pribadi saya sebagai teller mengajarkan saya akan satu pelajaran penting bernama empati.

Seringkali kita tidak puas dengan kualitas pelayanan yang diterima; kasir swalayan lama, pelit senyum, pegawai restoran lama mengantar pesanan, dan yang paling saya benci adalah pelayanan saat membeli tiket bioskop. Tapi, sebelum marah dan menuding semua kesalahan, saya ingat kalau saya juga pernah bekerja melayani nasabah. Tidak adil kalau saya mengomel sedangkan saya juga pasti pernah melakukan kesalahan yang menyebabkan nasabah marah. Saya percaya, mereka pasti ingin memberi pelayanan yang terbaik, hanya mungkin ada beberapa kendala sehingga pelayanan mereka tidak maksimal.

Di bulan puasa ini, semua kedai fast food penuh menjelang waktu berbuka. Antrian panjang dan permintaan pelanggan juga banyak dan berbeda-beda. Semua pelayan tetap bersemangat melayani pelanggan dan menebar senyum, tetap sabar walau keluhan mulai muncul dari mana-mana. Kalau sudah begini saya akan diam dan berusaha bersimpati, melihat kondisi mereka dari sudut yang berbeda: walau waktu berbuka sudah dekat, tapi mereka tetap melayani pelanggan sepenuh hati, menerima semua komplain dan tetap bekerja sebaik mungkin. Saat waktu berbuka sudah tiba, tidak satu pun dari mereka beranjak dari tempatnya, tetap melayani pelanggan yang masih mengantri. Saya juga pernah ada dalam situasi seperti itu, dan itu tidak mudah. 

Alhamdulillah, lewat pengalaman pribadi saya bisa lebih menghargai pekerjaan orang lain. Melihat semua hal dari sudut pandang yang berbeda. Daripada saya buang-buang energi untuk marah-marah, lebih baik energi tersebut saya kelola untuk melihat hal lain dari perspektif lain. Bonusnya saya jadi lebih sabar, syukur-syukur kalau bisa tambah dewasa juga. Bahasa kerennya sih belajar tentang kehidupan dari lingkungan sekitar. Dan sampai sekarang saya juga masih harus banyak belajar :)

Cheers.

Kamis, 29 Juli 2010

Perang Cuti

Pekerjaan menumpuk atau saling lempar pekerjaan memang senjata paling jitu untuk memicu konflik di dalam kantor, tapi nanti juga baik kembali setelah pekerjaan selesai. Berbeda dengan cuti. Kalau sudah menyangkut masalah ini, ego bisa sama-sama naik dan tidak ada satu pun yang mau mengalah. Ibaratnya semua akan berjuang sampai permohonan cutinya bisa dipenuhi.

Cuti memang hak karyawan, tetapi untuk mendapatkan hak tersebut dibutuhkan usaha yang tidak sedikit. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan saat mengajukan cuti, misalnya tidak cuti di tanggal sibuk, tidak cuti saat pekerjaan menumpuk, dan kesiapan orang lain untuk mem-back up pekerjaan yang akan ditinggalkan. Terlihat mudah di teori, namun sangat sulit untuk diwujudkan.

Saat saya memulai karir sebagai teller, sangat mustahil untuk mengajukan cuti. Kantor saya merupakan cabang besar dan memiliki banyak nasabah. Saat satu orang sakit, bisa dipastikan antrian akan mengular dan komplain nasabah akan bermunculan. Selain itu terdapat semacam tradisi bahwa anak baru tidak boleh cuti. Kenapa? Karena seniornya sendiri pun sulit cuti. Tidak jarang saya dipandang sinis saat mengajukan cuti ke atasan, komentar paling awal adalah, "Emang lo udah punya cuti?". Yey, anak baru juga punya hak cuti ya setelah 3 bulan bekerja. Komentar yang kedua adalah "Pokoknya gw ngga mau approve cuti di tanggal kejepit, hari senin, atau hari jumat". Okey, saya tau maksud kalian adalah "Lo ngga boleh cuti". Siapa sih yang tidak kehilangan mood untuk cuti jika sikap para atasan seperti itu?  Alhasil, total cuti yang saya gunakan selama di teller: 1 hari.

Kemudian saya pindah ke back office. Memang tidak berhadapan langsung dengan nasabah, tetapi load pekerjaan tidak berkurang, malah saya juga harus ikut menghandle pekerjaan costumer service. Lebih sulit cuti lagi karena hanya dua orang tim back office yang dapat menghandle pekerjaan teller dan CS sekaligus. Untungnya atasan baru saya lebih fleksibel dalam urusan cuti, beliau mengijinkan anak buahnya cuti selama back up mereka mengijinkan orang tersebut untuk cuti. Lagi-lagi saya tidak bisa cuti karena back up saya cuti menikah, cuti bulan madu, cuti liburan hari raya, untuk kemudian dia pindah ke kantor pusat mendahului saya. Yeah, lucky me.

Sekarang saya pindah ke kantor pusat. Peluang cuti lebih besar dan saya mulai membuat rencana liburan. Setelah browsing sana-sini, akhirnya saya mendapat tiket murah ke Bali di bulan Oktober. Dengan semangat menggebu saya menceritakan rencana liburan kepada seorang teman kantor, reaksi yang dia berikan sungguh di luar dugaan.

"Loh, Oktober kan aku mau cuti married, terus si P juga lagi cuti melahirkan. Pasti kamu ngga bisa cuti di bulan Oktober".

Ya, satu hal yang terlewat dari perhitungan saya: orang lain sudah duluan "membooking" tanggal untuk cuti.

Baiklah, saya mengalah. Saya mencari lagi tiket murah untuk bulan lain, sambil mengingat baik-baik pesan orang kantor, "Si B udah punya tiket ke Bali bulan September setelah lebaran". Yang artinya adalah: saya tidak bisa cuti di bulan September. Esoknya saya ke kantor membawa print tiket pesawat dan mengumumkan ke semua orang dalam ruangan,

"Gue udah punya tiket untuk bulan Desember. Ngga ada yang boleh cuti di Desember. December is mine!!!"

Liburan saya untuk tahun ini: aman.

Kemudian muncul masalah baru. Rebutan cuti hari raya. Beberapa orang dengan seenaknya sudah berbicara kepada atasan untuk meminta cuti di tanggal "kritis" tersebut. Beberapa lainnya sudah membooking tiket penerbangan untuk hari raya. Mau tidak mau saya jadi panas. Dua tahun penuh saya tidak bisa cuti di hari raya, yang paling parah saat harus merayakan Lebaran hanya berdua dengan adik karena orangtua mudik. Saat suasana mulai panas karena semua orang memperebutkan tanggal cuti di hari raya, saya iseng nyeletuk,

"Gue juga mau doooong cuti pas Lebaran. Udah dua tahun nih ngga pernah bisa cuti pas Lebaran".

Dan tanggapan mereka adalah

"Halah, kampung di Bogor aja minta cuti. Bogor mah deket, berapa jam juga nyampe. Kalau ke Lampung atau ke Bali kan jauh, jadi perlu cuti".

Wooooiii..... orangtua papa saya, alias kakek nenek saya itu ada di Bengkulu yaaa... It means: Saya juga butuh cuti untuk mudik. Udah 2 taun saya ngga lebaran bareng keluarga besar!!!!

"Lo masih single ini Cha".

"Lo belum punya suami ini Cha".

"Lo belum berkeluarga ini Cha".

Jadiiii, karena saya masih single, belum nikah, dan belum berkeluarga, saya HARUS SELALU mengalah untuk kalian? Saya bosan jadi pihak yang selalu mengalah, kenapa kalian tidak pernah mendengarkan perasaan saya sih? Saya juga punya keluarga ya, saya ingin menghabiskan waktu lebih banyak bersama mereka. Apa bedanya dengan kalian yang sudah menikah dan memiliki keluarga sendiri?

Pelajaran yang saya ambil adalah: rencanakan semua cuti yang dimiliki 1 atau 2 bulan menjelang tahun baru. Jika ada rencana liburan, segera cari tiket dan booking segera. Di awal tahun, diskusikan semua rencana tersebut dengan atasan, perlihatkan tiket yang dimiliki jika perlu, dengan demikian tidak ada lagi cerita kecolongan start cuti.

Di lain waktu saya mengobrol dengan teman yang akan cuti dan berangkat ke KL beberapa hari ke depan.

"Iiiihh, enak ya bisa cuti melulu. Gue dong, 8 hari cuti taun kemaren hangus karena ngga dipake", keluh saya.

"Salah sendiri punya cuti ngga dipake. Cuti gue aja selalu abis tiap tahunnya", jawabnya acuh.

Hegh. Pengen marah. Pengen teriak. Pengen nonjok. Dan pengen banget ngomong ini kenceng-kenceng.

"YA KARENA GW PEDULI SAMA PERUSAHAAN INI, DODOLL!!! MAKANYA GW BELA-BELAIN MASUK TERUS DAN JADI ANAK RAJIN!!!"

Sayang, saya cuma bisa ngomel dalam hati.


Sometimes, I just hate them. 
(highlighted the 'sometimes' word).

Kamis, 24 Juni 2010

Dodol Pangkat Tiga

Entah ada apa dengan hari ini. Rasanya saya sial terus sepanjang hari. 10 jam lebih waktu dihabiskan di kantor dan cukup membuat kepala mumet serta perasaan naik turun. Mungkin otak saya terlalu banyak diforsir untuk bekerja sehingga melakukan kedodolan tiga kali berturut-turut.

Saya biasa nebeng dengan mba Y setiap pulang kerja. Tadi saya bertemu dia di mushola. Dengan muka kusut dan rambut awut-awutan, mba Y langsung menebak kalau saya bermasalah lagi dengan orang-orang kantor. Kerjaan mba Y sudah selesai dan saya tinggal mematikan komputer saja. Biasanya mba Y akan menjemput ke ruangan saya, jadi saya menunggu dia sambil menonton TV. 10 menit berlalu, saya melihat ruangan mba Y masih menyala. Oh, belum selesai mungkin, begitu pikir saya. 15 menit kemudian saya mulai merasa aneh dan ketika masuk ke ruangan mba Y, TARRRAAA.... mba Y sudah pulang. Panik, saya buka HP, ternyata mba Y sudah berkali-kali menelpon, mencari keberadaan saya. Mba Y kira saya sudah pulang duluan karena tidak ada di ruangan, padahal saya ada di ruangan sebelah, sedang menonton TV. Bodohnya saya, kenapa tidak menyusul mba Y ke ruangan dia dan malah menonton TV. Kenapa juga HP saya simpan di tas sehingga tidak terdengar bunyi deringnya. Hilanglah tebengan saya untuk malam ini.

Cepat-cepat saya berlari ke halte busway, berharap bisa mengejar bus arah Cibinong yang terakhir. Di dalam busway, otak saya sibuk terus berputar menghitung jarak dan waktu antara busway yang sedang dinaiki dan bus Cibinong yang akan segera datang. Tiba di halte tujuan, saya langsung turun, bergegas keluar dari halte, siap-siap berlari, dan saya baru sadar...... Ini kan halte Karet, bukan Bendungan Hilir. Maniiisss, saya turun satu halte lebih cepat. Mau tidak mau akhirnya saya berbalik, membeli tiket lagi, masuk ke dalam halte lagi, dan mengantri lagi. Wajah saya rasanya panas dihujani tatapan aneh dari penjual tiket, penjaga pintu busway, dan penumpang lain.

Bundaran HI Jakarta. Still crowded in 9:13 pm.
 
Sampai di halte Bendungan Hilir, saya langsung berlari-lari menuju Komdak, tempat bus arah Cibinong biasa lewat. Di sepanjang jalan, saya melihat beberapa perempuan berpenampilan khas pekerja Jakarta (rok selutut, kemeja tangan pendek, sandal teplek), juga sedang menunggu bus pulang. Ah, ada juga yang bernasib sama seperti saya, baru pulang semalam ini. Batin saya pun menjawab, "Iya, banyak yang seperti saya. Tapi yang sedodol saya ya cuma saya sendiri".

Tak sampai 5 menit menunggu di Komdak, bus akhirnya tiba. Alhamdulillah, Tuhan masih baik sama saya. Ketika akan memasuki tol, kenek bus berteriak "Cileungsi Cileungsi....". WHAT!!!!! Ini bukan bus arah Cibinong, tapi arah Cileungsi. OMAAIGOOOTT....!!! Saya salah naek bus (lagi).  Samar-samar saya ingat, tadi saya tidak sempat membaca rute bus, hanya membaca nomor bus, 70A, dan saya baru sadar bus Cibinong itu kan nomornya 70 saja. Hih, kenapa bikin nama bus kurang kreatif gitu sih. Gusti... dosa apa saya hari ini sampai bikin kesalahan tiga kali berturut-turut. Rute pulang saya akhirnya jadi makin jauh, makin lama dan makin ruwet. 

Memasuki daerah Cibubur, hujan turun dengan derasnya dan setia menemani saya sampai ke rumah. Di rumah, bukannya cepat-cepat mandi dan siap-siap tidur, saya malah online untuk menulis disini. Padahal sebentar lagi tengah malam, dan besok saya harus bangun jam setengah lima pagi, berangkat kerja jam setengah enam pagi, kembali bekerja lagi, dan besok tanggal gajian, dan besok kerjaan pasti numpuk banget. Ergh, haruskah judul postingan ini saya ubah menjadi Dodol Pangkat Empat ???

Minggu, 16 Mei 2010

Preferred Circle

Kantor baru, berarti banyak tempat baru yang bisa dikunjungi. Berhubung kantor sekarang merupakan cabang pusat, terdapat fasilitas Preferred Circle untuk prime costumer. Penasaran, ada apa sih di ruangan Preferred Circle. Kesannya esklusif banget, sampai dibuatkan satu ruangan khusus, terpisah dari nasabah lainnya. Lucky me, saya punya kenalan di bagian Preferred Circle, jadi ruangan ini bisa disinggahi. Mingle dengan divisi lain memang selalu menyenangkan dan menguntungkan :)


Pertama masuk ke ruangan ini suhu langsung anjlok beberapa derajat. Hooo... ruang Preferred Circle ternyata di-set lebih dingin dibanding ruang banking hall. Wangi, comfy, dan nyaman, itu kesan pertama yang didapat. Meeter Greeter yang bertugas langsung menyambut di ruang depan dan tim marketing siap membantu kebutuhan perbankan nasabah. Prime costumer tidak perlu berlama-lama antri, karena semua transaksi dapat langsung dikerjakan bagian back office.

Selagi menunggu, prime costumer bisa membaca majalah Investor, 

atau harian Bisnis Indonesia.

Dan tersedia camilan lengkap dengan berbagai pilihan minuman.

Jika bosan, nasabah prime dapat menonton TV dengan jaringan Indovision,

di sofa yang super nyaman.

Enaknyaaa jadi prime costumer... Saldo minimun yang harus mengendap di tabungan untuk dapat menikmati semua fasilitas ini dan menjadi nasabah Preferred Circle hanya Rp. 500juta saja. Kalau ada yang berminat, silahkan bergabung :)


Lumayan, sehari 10 menit bisa merasakan pengalaman jadi nasabah prime :D 

Kamis, 06 Mei 2010

Keerr..Kerrr..Keeerrr...

Kalimat ini pastinya sering digunakan untuk memanggil ayam, tapi di kantor saya kalimat ini bermakna lain. Kerr…keerr…keer… dan sontak semua kepala akan beralih menuju sumber suara, kemudian tergesa menghampiri suara yang bersangkutan, lengkap dengan ocehan dan tingkah polah yang semakin meramaikan suasana. Keerr..keerrr.. merupakan kode yang digunakan untuk memberitahukan adanya makanan untuk anggota kantor, dan layaknya ayam, kami nurut saja dengan panggilan ini.

Kenapa disamakan dengan ayam? Karena seluruh anggota di kantor baru saya tergolong maruk (saya ngga termasuk ya) :p hahaha…. Sebanyak apapun makanan yang ada selalu habis dalam sekejap, hebatnya lagi selang waktu 1jam kemudian akan bermunculan keluhan “lapeeerr…”. 

 New office mates :D

Ruangan kantor saya dihuni sekitar 30 orang, dan ¾ laki-laki mendominasi tempat ini. Percayalah, cowo itu selalu laper dan dapat mengkonsumsi semua makanan dalam waktu kurang dari 3 menit. Dengan makanan yang jumlahnya tidak sebanding dengan jumlah anggota kantor, maka tak heran setiap kalimat “keeerr..kerrr..” keluar, para lelaki sigap bersaing untuk mendapatkan makanan sebanyak dan secepat mungkin. Yang kurang gesit silahkan gigit jari (berlaku untuk saya).

Saya dan beberapa teman pernah iseng menggunakan momen keerr..keerrr... Kami membeli “combro spesial”, bagian dalam combro diisi cabai, bukan cuma satu, tapi dua cabai rawit (evil grin). Saat kalimat keeerr..kerrr.. terucap, semua orang berkumpul menggerubuti sang combro yang tidak berdosa, bersemangat memakan combro, menggigitnya, dan AAAAAaaaaaaa......!!!!!! Semua menjerit karena cabai rawit yang berkolaborasi dengan combro panas fresh from the wajan sukses membuat sensasi pedas yang tidak terlupakan.

Sampai sekarang, saya belum pernah sukses mengabadikan momen keeerr..kerrr... Kejadiannya terlalu cepat dan hectic, jadi saya hanya bisa memperlihatkan foto saat gathering. Cukup mirip dengan momen keeerr..kerrr..., tapi lebih tertib karena makanan yang tersedia banyak dan diawasi langsung oleh seksi konsumsi. Jipeeeerrrr..... ;)

 Makanan baru ditata, saya dan Pusti bisa foto-foto dulu :)

 Keerr....keerrr.... dan pantry langsung penuh dalam sekejap.

 Pusti udah sibuk berebutan makanan, saya masih sibuk foto-foto.

 Sepertinya saya ngga kebagian nih :( Ukh, nasib jadi seksi dokumentasi.

Berhubung semua anggota kantor gila kerja, momen keeerr..kerrr... berlaku juga untuk pekerjaan. Saat kalimat keerr..keerr.. berbunyi, kami ribut berebut pekerjaan yang berdatangan, tidak ada yang mau mengalah, sampai-sampai para suvervisor harus memperingatkan agar tidak ada tiket, cek atau giro yang terobek karena ulah kami. Dan walau disibukkan dengan pekerjaan yang menumpuk, saat kalimat keeerr..kerrr mengabarkan keberadaan makanan terdengar, semua akan rela meninggalkan meja kerja masing-masing untuk (kembali) berebut makanan. Atasan saya hanya bisa berkomentar "Kalau ada yang iseng masukin racun di makanan, semua bagian operation bisa mati mendadak nih”.

Hhhmmm....idenya bisa dipake kapan-kapan tuh Pa :D


 Berebut kerjaan (jarang-jarang liat peristiwa ini di kantor laen).


PS: Terbukti kan banyaknya jumlah laki-laki di kantor saya lewat foto-foto di atas :D wohooo...bisa dapet pacar baru disini ngga ya :p

Rabu, 14 April 2010

"Harta Karun" di Meja Kerja

Saat pindahan ke kantor baru kemarin, saya baru sadar kalau selama ini laci kantor penuh dengan berbagai barang. Selain itu meja kerja saya dikenal sebagai meja yang paling penuh dengan berbagai pernak-pernik, jadi saat pindahan kemarin saya lumayan ribet dan kewalahan juga membereskan semuanya. Inilah beberapa "harta karun" yang berhasil saya amankan.

Printer yang dihuni berbagai boneka dan pajangan lain. Boneka beruang kado valentine's day, Hamtaro yang tiba-tiba mampir ke meja saya dan bergabung sama dengan yang lain, koala oleh-oleh dari Aussie, sinterklas dari hiasan cake cokelat pas natalan kemaren, gajah untuk ngingetin saya akan rencana travel berikutnya, dan beberapa hiasan bunga yang dikirim seorang teman. 
Printer saya tergolong printer yang rewel dan sering ngadat, jadi saat dia mulai kumat semua benda di atasnya harus diturunkan, benerin printernya, terus ditata lagi. Berhubung saya ngga bisa benerin printer, jadi temen-temen cowo satu kantor pasti ngedumel kalau printer saya mulai bermasalah. "Doh, banyak banget sih pernak-perniknya, bikin susah nih" keluh mereka.

Buku swift code (kode bank) di seluruh dunia, mulai dari Afrika sampai Zimbabwe ada disini. Holly book untuk saya yang harus mengerjakan pengiriman valas ke luar negeri.

Disket? Percayalah, saya masih menggunakan benda yang satu ini. Yep, saya hidup di taun 2010 tapi masih kerja menggunakan disket plus ditemani lagu The Beatles.


Beberapa slip setoran, cek, dan giro yang belum sempat dimasukkan ke dalam rekap harian (huuff...jangan sampe kena audit).
Lotion, leave-on conditioner, perfume, kayaknya semua perempuan nyimpen ini di lacinya :)

Dan sepertinya juga rol rambut perlu ada di laci kantor :p



Cemilan dan berbagai minuman seduh. Mulai dari teh, susu, kopi, sampai jahe wangi (trust me, kantor saya itu dingin banget!!!).



Beberapa buku bacaan super tebel dan perlu waktu lama untuk membacanya (kerjaan saya baru berdatangan di atas jam 11 siang, jadi membaca merupakan salah satu alat pembunuh waktu yang sangat ampuh).

Billing statement kartu kredit, rekening koran tabungan pribadi, dan slip gaji. Membayangkan mama membaca total tagihan kartu kredit dan melihat kemana saja larinya penghasilan bulanan saya rasanya sudah cukup menyeramkan. Jadi semua amplop ini lebih aman saya tumpuk di laci kantor sepertinya :p



Saya sempat menyimpan sebuah boneka di kantor, namun ukurannya yang terlampau besar dan sering digunakan teman-teman untuk melampiaskan amarah mereka akan pekerjaan yang menumpuk, maka dia saya bawa pulang ke rumah saja.

Voila...inilah hasilnya dalam satu kardus (eerr...sebenernya ngga cukup satu kardus sih) dan siap berangkat ke kantor baru :))

Meja kerja saya di kantor lama

Dan ini meja kerja saya di kantor baru :D

Ayooo semangat kerja :)


PS: Saya baru ganti template blog nih, menurut kalian gimana? (need ur suggestion so bad).