total ping

Tampilkan postingan dengan label ADVENTURE. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ADVENTURE. Tampilkan semua postingan

Kamis, 18 Agustus 2011

REVIEW: HARRY POTTER AND THE DEATHLY HALLOWS: PART 2















































"It all ends."

Usai sudah franchise yang luar biasa sukses selama hampir 14 tahun terakhir ini dan disukai oleh banyak orang dari seluruh penjuru dunia, Harry Potter and the Deathly Hallows: Part 2 menjadi film Harry Potter ke-8 sekaligus menjadi film penghabisan. Bagi para penggemar setianya, sudah pasti ini membawa kesedihan yang luar biasa. Apalagi bagi mereka yang merasa 'tumbuh' bersama dengan Harry, Ron, dan Hermione. Meskipun saya bukan penggemar fanatik, saya pun merasa sedih karena tahun depan sudah tidak ada lagi hype Harry Potter yang seketika membuat bioskop penuh sesak. Tapi saya juga senang, karena film ini ditutup dengan sedemikian memuaskan oleh David Yates. Big thanks to him! Berhubung saya bukan pembaca novelnya, jadi saya tidak berhak memberikan komentar mengenai adaptasi yang ada, tapi saya puas sekali dengan apa yang saya tonton. Harry Potter and the Deathly Hallows: Part 2 merupakan salah satu film Harry Potter terbaik dari yang ada.

Harry (Daniel Radcliffe), Ron (Rupert Grint), dan Hermione (Emma Watson) melanjutkan misi terakhir dan yang paling menentukan guna mengalahkan Lord Voldermort (Ralph Fiennes). Hanya tinggal tiga buah Horcruxes yang belum diketemukan, apabila mereka bisa menemukan sisanya maka sudah pasti rencana akan berjalan lancar. Namun misi mereka menemukan letak Horcruxes diketahui oleh Voldertmort dan tentu saja pertempuran besar pun tak terhindari lagi. seluruh kekuatan dan pendukung Voldermort melawan para pendukung Harry Potter dari Hogwarts bertempur habis-habisan. Namun, yang pada akhirnya dapat mengalahkan Voldertmort hanyalah Harry seorang.

Diantara semua film Harry Potter yang ada, saya berani mengatakan kalau film ini lah yang memiliki visual efek paling jempolan. Luar biasa halus dan memanjakan mata! Part 2 juga merupakan film Harry Potter dengan adegan pertempuran yang paling intens dan menegangkan. Memang plot dari Part 2 ini tidak terlalu istimewa, namun adegan action tanpa henti yang disajikan disini sungguh membuat jantung berdetak lebih cepat, penonton seakan tidak sabar melihat Harry Potter vs. Lord Voldertmort, setelah menunggu sampai delapan film! Fiuhh..finally. Karakter Neville Longbottom (Matthew Lewis) merupakan karakter yang paling saya sukai dari film ini. Begitu juga pada saat terungkapnya asal usul Professor Severus Snape (Alan Rickman), menurut saya scene tersebut digambarkan dengan baik sekali, sangat menyentuh namun tidak cengeng.

Para pemain utama seperti Daniel, Rupert, dan Emma terlihat sekali memberikan performa yang juga 'habis-habisan'. Disamping penampilan mereka yang terlihat lebih mature, kualitas akting yang ada dalam Part 2 juga terasa lebih matang dan prima. Bukan hanya mereka, menurut saya seluruh cast yang terlibat dalam film ini sepertinya memang berusaha mati-matian membuat film ini menjadi film penutup yang baik. Dan mereka berhasil! Apalagi yang penonton harapkan? Ini sudah lebih dari cukup dan menurut saya David Yates sudah mampu memenuhi ekspektasi para penggemar. Saya pribadi sangat puas dengan film ini. Sedih juga rasanya menerima kenyataan kalau film ini akhirnya sudah selesai. Tapiii..well done! Overall, sangat amat memuaskan! :)











Selasa, 02 Agustus 2011

REVIEW: TRANSFORMERS: DARK OF THE MOON
























"Remember this: you may lose your faith in us but never in yourselves."

BOO! Another Transformers movie.. Jujur, saya tidak terlalu bersemangat untuk menonton film ini karena film keduanya Transformers: Revenge of the Fallen (2009) sangat amat mengecewakan bagi saya. Film pertama Transformers (2007) menurut saya lumayan bagus dan tentu saja membuahkan ekspektasi yang tinggi pada film lanjutannya, akan tetapi Michael Bay mengecewakan saya dan juga para penggemar lainnya. Transformers 2 tidak berhasil dalam setiap sisi yang disajikan, setuju?! Maka ketika film ketiga ini muncul saya tidak menaruh ekspektasi apapun, apalagi Megan Fox yang sudah jadi 'icon' Transformers kini juga sudah digantikan dengan karakter baru yang diperankan model sexy Victoria's Secret, Rosie Huntington-Whiteley.

Tidak disangka, saya puas sekali dengan Transformers: Dark of the Moon. Michael Bay memang harus menggarap seperti ini. Ini lah yang diharapkan para penggemar Transformers, well at least saya pribadi berfikir demikian. Tapi saya juga harus mengatakan kalau anda mengharapkan akting yang luar biasa, plot fantastis, atau pendalaman pada tiap karakter mungkin anda akan kecewa. Ini Transformers! Entertaining movie! For me, this one is very entertaining. Saya beruntung bisa menyaksikan lebih awal pada media screening hari Minggu kemari di Senayan City XXI, 3D pula. Puas sekali. Saya keluar bioskop dengan decak kagum pada visual effects-nya yang luar biasa bagus didukung dengan adegan-adegan slow motion yang keren! This is what a Transformers movie should be!

Plot kurang lebih masih berlanjut dari dua film sebelumnya, Autobots dan Decepticons masih berperang melawan satu sama lain. Harapan satu-satunya berada di tangan jagoan kita, Sam Witwicky (Shia LaBeouf) yang sekarang bersama pacar baru yang -woohoo- tidak kalah hot dari pacar sebelumnya, Carly (Rosie Huntington-Whiteley). Film dimulai dengan adegan tahun 1960-an dimana ternyata pada masa itu pesawat Autobot pernah kecelakan dan terdampar di bulan. Program Apollo 11 berhasil menemukan pesawat tersebut dan membawa beberapa sample ke bumi dan hal ini tentu saja dirahasiakan dengan sangat ketat. Lalu disisi lain Sam sedang frustasi karena tidak mempunyai pekerjaan. Apalagi pacarnya yang cantik bekerja di showroom mobil antik milik pengusaha tampan dan kaya raya, Dylan (Patrick Dempsey). Selanjutnya dimulai lah adegan-adegan aksi antara Decepticons yang ternyata mencari sisa-sisa pilar yang dulu berada di pesawat Autobot tersebut. Dengan pilar-pilar itu mereka bisa membawa seluruh isi planet Cybertron ke Bumi.

Mulai dari pertengahan film hingga akhir kita akan melihat peperangan special effects yang luar biasa keren. Special Effects dalam film ini merupakan yang terkeren diantara ketiganya. Trust me! Bay juga banyak menyelipkan dialog dan adegan lucu kali ini sehingga membuat penonton tidak merasa bosan melihat peperangan yang terus menerus. Akting Shia LaBeouf rasanya juga lebih total kali ini, namun sayang chemistry antara dirinya dan sang model Victoria's Secret kurang terjalin dengan baik. Hmm..akting Rosie Huntington-Whiteley memang terasa kaku, tapi apa yang anda harapkan dari seorang model lingerie yang baru pertama kali bermain film? Positifnya, saya rasa Rosie cukup berhasil menggantikan posisi Megan Fox dalam film ini. Lagipula kualitas akting Megan Fox juga tidak bagus-bagus amat. Sama-sama cuma bermodalkan wajah cantik dan tubuh sexy saja, lumayan lah daripada para pria melihat robot terus. :p

Intinya, jangan mengharapkan plot yang bagus dari film ini. Seperti yang semua orang tahu jagoan pada akhirnya pasti menang. Nikmati saja sajian special effects yang ada. Sangat jauh lebih baik dibanding film keduanya yang super sucks. Saran saya, tidak perlu juga menonton versi 3D karena tidak terlalu berasa juga. I think 2D is fine. Ribet juga soalnya pakai kacamata 3D, kepala koq rasanya malah pusing. Haha.. Menurut saya Michael Bay cukup berhasil kali ini dengan Transformers 3, at least adegan peperangan Autobots dan Decepticons asik sekali untuk dinikmati. Selipan humor didalamnya beberapa juga mengundang tawa. Jajaran cast juga asik, apalagi ditambah dengan kehadiran dua pemain peraih Oscar; Frances McDormand dan John Malkovich yang semakin meramaikan suasana. Overall, film ini menghibur koq meskipun durasinya lumayan panjang sekitar 157menit, the longest of the three! :)






Rabu, 20 Juli 2011

REVIEW: X-MEN FIRST CLASS
























"Before he was Professor X, he was Charles. Before he was Magneto, he was Erik."

X-Men First Class adalah awal dari semua film X-Men yang ada. Film ini digarap oleh sutradara terbaru favorit saya, Matthew Vaughn! Ini dia calon sutradara yang genius! Walau baru menyutradai empat judul film, tapi semuanya bagus. Kick-Ass (2010) tahun lalu menjadi salah satu film favorit saya. I really loveee that movie! Begitu tau kalau Vaughn yang menyutradarai X-Men dalam versi quasi-reboot (setengah reboot dan setengah prequel), tidak heran kalau saya langsung menaruh ekspektasi yang tinggi. Menunggu dan berharap kalau film ini akan tayang di Indonesia, namun sayang sekali tidak terwujud. Padahal saya sudah membayangkan akan melihat James McAvoy di layar lebar. Arghh! Sekarang saya dan para pecinta film lainnya harus berterima kasih kepada koneksi internet yang cepat dan dvd bajakan yang bikin kita tetap bisa menonton film-film terbaru Hollywood. Nanti kalau dvd original film ini sudah keluar pasti saya beli untuk masuk kedalam koleksi-koleksi saya.

Film ini bercerita tentang Charles Xavier (James McAvoy) dan Erik Leshnerr (Michael Fassbender) saat masih muda. Mereka adalah dua orang mutant yang memiliki kehidupan berbeda. Masa lalu Erik kelam, ketika ia masih kecil ibunya dibunuh didepan matanya oleh Sebastian Shaw (Kevin Bacon) guna memaksa Erik mengeluarkan kekuatan uniknya dalam mengendalikan besi. Erik tumbuh dalam suasana hati yang penuh amarah dan dendam pada Shaw. Berbeda dengan Charles sang telepatis yang tumbuh dengan baik di sebuah rumah besar, pada saat masih kecil ia bertemu dengan Raven (Jennifer Lawrence), seorang mutant yang bisa berubah-rubah bentuk. Mereka tumbuh bersama layaknya kakak beradik.

Setelah Charles menyandang gelar sebagai professor dalam bidang gen manusia, seorang detektif CIA bernama Moira (Rose Byrne) datang mencarinya dan meminta bantuannya mengungkap keanehan yang baru saja terjadi. Ternyata dalang dari masalah ini adalah Shaw, ia ingin mengaktifkan nuklir dan membuat peperangan terjadi. Dari misi ini Charles berkenalan dengan Erik yang sedang ingin membalas dendam pada Shaw. Mereka pun akhirnya akrab dan menjadi teman yang saling menolong. Para mutant muda pun dikumpulkan agar misi ini berjalan dengan sukses, karena Shaw juga didukung oleh para mutant hebat seperti Emma Frost (January Jones) dan Azazel (Jason Flemyng). Lalu mutant-mutant muda ini dilatih agar kekuatan mereka maksimal. Masing-masing juga mencari nama mutant yang cocok. Charles - Professor X, Erik - Magneto, Raven - Mystique, Hank – Beast (Nicholas Hoult), dan lain-lain.

Seru sekali rasanya melihat awal mula X-Men terbentuk. Kita bisa melihat bahwa ternyata sebelum menjadi musuh bebuyutan, Professor X dan Magneto dulunya bersahabat. Saya sudah menonton keempat film sebelumnya dan saya bisa mengatakan kalau X-Men First Class adalah yang terbaik diantara semua. Tidak mudah membuat sebuah reboot, apalagi dalam film besar yang memiliki fanbase dimana-mana seperti X-Men. Tetapi Matthew Vaughn canggih sekali meramu First Class menjadi tontonan 'first class'. Meskipun semua pemainnya bukanlah para pemain lawas X-Men seperti Hugh Jackman, Patrick Stewart, Ian McKellen, Halle Berry, dan Anna Paquin, namun X-Men First Class malah terasa lebih fresh dengan kehadiran pemeran baru yang menurut saya sangat pas dengan karakter yang diperankan. Pemilihan James McAvoy sebagai Professor X dan Michael Fassbender sebagai Magneto muda benar-benar sebuah keputusan yang sempurna. Saya tidak bisa membayangkan aktor lain lagi yang bisa berperan sebagus dan secocok mereka.

Terus terang saya menaruh ekspektasi yang sangat tinggi pada film ini. Namun siapa sangka kalau X-Men First Class berhasil melaju jauh melampaui ekspektasi saya. Film ini sangat menghibur dan seru! Sayang sekali kita tidak bisa menyaksikan di layar lebar, padahal entertaining movie seperti ini paling pas kalau disaksikan di bioskop. Gaya Vaughn dengan tempo cepat namun alur yang jelas serta selipan humor di sela film sangat asik untuk ditonton. Bahkan bagi yang belum pernah menonton film X-Men sebelumnya saya yakin juga pasti bisa sangat menikmati. Film yang memiliki durasi sekitar 132menit ini sama sekali tidak terasa panjang, mungkin karena saya terlalu excited! Haha.. Ohh yaa..kehadiran Hugh Jackman sebagai cameo dalam film ini lumayan konyol dan mengundang tawa! Saya sudah pasti tidak sabar menunggu film-film Matthew Vaughn selanjutnya. Two tumbs up!






Selasa, 15 Februari 2011

REVIEW: 127 HOURS
























“There is no force more beautiful than the will to live.”

James Franco adalah salah satu aktor favorit saya, hal ini bukan hanya dikarenakan ketampanan fisik atau betapa manis senyumnya, akan tetapi kualitas akting yang diberikan Franco dalam setiap filmnya selama ini selalu berhasil menarik perhatian saya meskipun itu hanya peran figuran sekalipun seperti yang terakhir saya saksikan dalam The Green Hornet (2011). Sayang, belum ada peran yang benar-benar berhasil membawa namanya ‘naik level’ dalam kancah perfilman Hollywood. Betapa bahagianya saya ketika tahu kalau James Franco yang akan berperan sebagai Aron Ralston dalam film yang diangkat dari kisah nyata arahan sutradara Danny Boyle (Slumdog Millionaire) bertajuk 127 Hours.

Film ini mengangkat kisah nyata Aron Ralston, seorang pendaki gunung yang pada tahun 2003 silam melakukan petualangan ke daerah tebing terpencil di Blue John Canyon – Utah. Ia tidak memberitahukan kepada siapapun tentang kepergiannya itu, ia juga tidak membawa telefon genggam. Aron hanya ingin merasakan kenikmatan adrenalin yang mengalir deras ketika melakukan petualangan favoritnya tersebut. Namun nasib naas rupanya malah menimpa dirinya, ketika sedang kesulitan menelusuri tebing terjal dan sempit ia tidak sengaja terperosot masuk kedalam dan lebih parahnya lagi, tangan kanannya tertimpa batu besar. Ia terperangkap di bawah tebing dengan kondisi tangan kanan tidak bisa digerakkan sama sekali hanya dengan sedikit sisa air minum, beberapa peralatan mendaki, dan pisau lipat made in China pemberian ibunya.

Saya tidak ingin spoiler, tetapi adegan ‘itu’ memang lumayan disturbing buat saya. Ketika menonton saya sesekali menutup mata dengan tangan saya dan mengintip dari sela-sela jari. Ya, visualisasi adegan ‘itu’ memang disajikan Danny Boyle dengan vulgar. Ada juga beberapa adegan selain adegan ‘itu’ yang cukup men-jijay-kan (hehe!). Saya suka dengan scene-scene flashback yang diselipkan Boyle disini, membuat film menjadi tidak monoton. Begitu juga dengan dialog-dialog menghibur yang ada. Pilihan soundtrack juga menjadi salah satu nilai tambah. Belum lagi pemandangan tebing yang diperlihatkan dalam film ini, simply breathtaking! Tapi satu esensi penting yang menjadi faktor penentu sukses atau tidaknya 127 Hours adalah penampilan brilian James Franco.

Seperti yang sudah saya tulis diatas, James Franco selama ini sepertinya belum mendapatkan peran yang membuatnya mampu menunjukkan totalitas akting yang membuatnya setingkat lebih dikenal lagi dari sebelumnya, akan tetapi dalam film ini ia akhirnya menemukan sesuatu yang baru bagi karirnya. He really nailed it! Sebegitu baik aktingnya dalam film ini, ia akhirnya dinobatkan menjadi nominasi Best Actor dalam ajang Oscar 2011. Sebuah pencapaian yang sangat membanggakan, apalagi kalau sampai nanti ia berhasil menang. Namun, sepertinya memang sulit, mengingat saingan yang lain juga tak kalah bagus. But I wish him the best! Saya tidak yakin apabila tokoh Aron Ralston diperankan aktor lain, mungkin tidak akan sebagus ini. Mungkin.

Secara keseluruhan saya menyukai 127 Hours, apalagi mengingat film ini based on a true story. Mungkin banyak yang membandingkan film ini dengan Buried (2010), menurut saya 127 Hours berbeda. Buried lebih menitikberatkan kearah thriller, sedangkan 127 Hours lebih menonjolkan sisi drama dan bagaimana perjuangan seorang Aron Ralston untuk mempertahankan hidupnya dengan segala cara sampai cara yang gila sekalipun. Film ini mempunyai nilai positif yang bisa kita ambil yaitu untuk tidak putus asa dalam keadaan apapun, meski kesempatan yang tersisa sepertinya sangat kecil. Mungkin beberapa orang akan sangat suka film ini dan akan ada juga beberapa orang yang sangat tidak suka film ini. But, I love this movie! How about you guys?










































































The real Aron Ralston picture (from Google):

Minggu, 19 Desember 2010

REVIEW: TRON: LEGACY 3D
























"The Grid. A digital frontier. Ships, motorcycles. With the circuit like freeways. I kept dreaming of a world I thought I'd never see."

TRON: Legacy is a good movie, but not a great one. Biar bagaimana pun saya harus mengakui kalau film ini sangat menghibur dari segi visual efek yang ditawarkan, namun di sisi lain plot ceritanya sangat dangkal. TRON: Legacy adalah sekuel dari sebuah film live-action produksi Disney yang kurang sukses pada tahun 1982 berjudul Tron. Film tersebut mendapatkan hasil Box-Office yang mengecewakan. Peruntungan kembali dicoba dalam sekuel terbaru ini yang tentunya memboyong teknologi visual yang lebih canggih, sepertinya kali ini TRON: Legacy berhasil mencapai angka yang lumayan, buktinya film ini berhasil menduduki peringkat satu dalam tangga Box-Office minggu ini. Terus terang, TRON: Legacy memang masuk ke dalam list 'most anticipated movie 2010' saya, trailernya yang keren pasti membuat semua orang yang melihat menjadi penasaran dan menaruh ekspektasi tinggi, terlebih pada versi 3D-nya. Entah apa karena ekspektasi yang terlalu tinggi, saya merasa kurang puas menonton versi 3D film ini. Tidak ada efek-efek 3D yang 'luar biasa', saya rasa menonton 2D saja sudah cukup keren karena memang setting dalam filmnya sudah dibuat sedemikian futuristik.

Film dibuka pada tahun 1989 dimana kita dikenalkan dulu kepada Sam Flynn, anak dari Kevin Flynn (Jeff Bridges); seorang pemilik perusahaan software komputer: Encom. Tiba-tiba Kevin menghilang dan Sam pun sedih ditinggal sang ayah. Dua puluh tahun telah berlalu, Sam (Garrett Hedlund) yang tadinya diasuh kakek dan neneknya sekarang sudah tinggal sendiri, dengan sisi financial berkecukupan, memiliki motor keren, dan tempat berteduh dengan pemandangan yang indah. Suatu hari kolega sang ayah mendatangi Sam dan berkata kalau ia mendapat pesan dari Kevin pada pager yang ia miliki. Sam pun mendatangi kantor lama ayahnya dan secara tidak sengaja ia tersedot dan masuk kedalam dunia digital hasil ciptaan sang ayah, The Grid. Kebingungan dan tidak tahu apa yang sedang dialaminya, Sam kemudian dipertemukan dengan sosok sang ayah yang masih tetap muda, tidak berubah sama sekali semenjak dua puluh tahun yang lalu. Tapi di sisi lain dalam The Grid, Sam juga bertemu sosok ayahnya yang sudah menua. Ternyata sang ayah juga menciptakan kloning dirinya, dan 'kembarannya' tersebut terlalu mengejar kesempurnaan sehingga bertindak semena-mena. Sam dan Kevin, ditemani Quorra (Olivia Wilde), bersama-sama menuju portal untuk kembali ke dunia manusia dengan waktu yang terbatas. Tentu saja mereka harus melewati dulu halangan dari Clu (kloningan Kevin Flynn) dan anak buahnya.

Kelemahan paling parah dari TRON: Legacy adalah plot dan dialog. Sedangkan nilai lebih datang dari segi visual efek dan soundtrack karya Daft Punk yang futuristik sehingga cocok dengan filmnya. Akting Garrett Hedlund sebagai pendatang utama di film ini lumayan baik, meskipun belum bisa disejajarkan dengan aktor-aktor muda Hollywood yang lain. Setelah ini Hedlund harus pintar memilih film yang akan dibintanginya agar namanya bisa segera menyusul Shia Labeouf dan lain-lain. Jeff Bridges tentu saja bermain baik, tetapi pada sosok Kevin Flynn muda, saya merasa efeknya terlalu 'lebay' sehingga Jeff Bridges malah terlihat seperti kartun, ohh well... Olivia Wilde juga tidak saya sangka bisa sekeren ini dengan perannya sebagai Quorra. Saya juga senang melihat Michael Sheen sekilas dengan peran uniknya sebagai Zuse. Secara keseluruhan, mungkin TRON: Legacy tidak sesuai dengan ekspektasi saya yang tinggi, namun menonton film ini dan mendapatkan suguhan efek yang modern dengan diiringi musik Daft Punk rasanya plot cerita dangkal bisa sedikit termaafkan. Jika anda mencari tontonan hiburan yang memang sudah anda ketahui hanya mengandalkan stunning visual effects, then go see this movie! Meskipun secara keseluruhan, saya merasa TRON: Legacy tidak akan tinggal lama dalam ingatan saya. :)






Selasa, 07 Desember 2010

12th JIFFEST 2010 - REVIEW: SCOTT PILGRIM VS. THE WORLD




























Scott Pilgrim vs. The World - USA


Thank you so much JiFFest for showing this movie!!! Senang sekali rasanya begitu tahu kalau film Scott Pilgrim vs. The World ditayangkan di JiFFest tahun ini, sekaligus bangga karena ini adalah penayangan perdana di Asia setelah sebelumnya hanya tayang di Amerika. Film ini merupakan salah satu film tahun ini yang saya tunggu-tunggu, setelah melihat trailernya saya tertarik karena sepertinya akan sangat fun sekali menyaksikan film yang dikemas seperti video game ini di layar lebar. Tetapi harapan untuk menyaksikan di bioskop sempat pupus karena memang film seperti ini penontonnya sangat segmented dan tentu saja sedikit kemungkinan untuk dapat ditayangkan disini. Maka, terima kasih untuk JiFFest yang telah berhasil menayangkannya, beruntung rasanya saya bisa menjadi salah satu orang yang menyaksikan di layar lebar. Memang ternyata setelah saya tonton, ini bukanlah film terhebat tahun ini, bukan juga film terfavorit saya, tetapi sensasi yang terjadi pada saat saya menonton film ini terasa begitu unik dan tidak pernah dirasakan sebelumnya. Unique! Seru!


Diangkat dari enam segmen graphic novel Scott Piglrim karya Bryan Lee O'Malley, ceritanya sangat simple dan to the point. Seorang lelaki bertemu dengan wanita impiannya, lalu ia berusaha keras untuk mendapatkan wanita tersebut. Lelaki itu adalah Scott Pilgrim (Michael Cera), seorang gitaris dari band Sex Bob-Omb yang berpenampilan ala kutu buku alias nerd. Ia sedang berpacaran dengan gadis remaja keturunan Cina, Knives Chau (Ellen Wong). Scott terlihat sangat santai dan menikmati hidupnya sampai suatu hari ia bertemu dengan Ramona Flowers (Mary Elizabeth Winstead), gadis berambut ungu yang selama ini ada di mimpinya. Scott menjadi terobsesi dan mengandalkan segala cara untuk dapat berkenalan dengan Ramona. Ia berhasil, mereka menjadi sangat dekat. Tapi untuk berpacaran dengan Ramona, ia harus berduel dengan ketujuh mantan pacar Ramona. Mau tidak mau Scott Pilgrim pun harus meladeni duel tersebut agar bisa mendapatkan kekasih yang diimpikannya. Tapi selain enam mantan pacar Ramona tersebut, ia juga masih harus berurusan dengan pacarnya sendiri, Knives Chau.


Sang sutradara, Edgar Wright (Shaun of the Dead, Hot Fuzz) berhasil membawa sesuatu yang sangat orisinil ke dalam film ini. Para comic books lover dan gamers pasti akan terpesona dengan film ini. Edgar sangat konsisten dengan apa yang dibuatnya, banyak sekali aspek-aspek komikal di setiap scene, begitu juga dengan aspek dalam game yang sepertinya sangat kental sekali. Sebuah resiko yang berani diambil oleh Edgar Wright, karena dengan dibuat setia seperti komik dan game, Scott Pilgrim vs. The World tentu saja bukalah sebuah film yang dapat dinikmati semua pihak. Pastinya akan ada yang memuji setengah mati, tapi ada juga yang akan mencerca habis-habisan. Para pemain dalam film ini cocok dengan karakter masing-masing. Michael Cera terlihat seperti ..well.. Michael Cera. Saya penasaran juga kapan Cera akan mengambil peran-peran lain yang berbeda dengan film yang pernah ia mainkan sebelumnya, karena sepertinya selama ini Cera selalu mengambil peran dengan karakter itu-itu saja. Btw, seperti yang sudah saya tulis diatas, Scott Pilgrim vs. The World bukanlah film terfavorit saya tahun ini, tetapi tidak mungkin kalau saya tidak memuji ide orisinil yang dibawa Edgar Wright dalam film ini. Visual efek terlihat mengagumkan, soundtrack juga asik sekali, jokes yang ada sangat menghibur, belum lagi para cameo seperti Chris Evans, Kieran Culkin, Brandon Routh, Alison Pill, Mark Webber, Jason Schwartzman, dll yang sangat menyegarkan mata. Menonton film ini saya seperti sedang menonton pertandingan seru dalam sebuah video game sambil sesekali membaca komik. :)







Selasa, 05 Oktober 2010

REVIEW: LEGEND OF THE GUARDIANS: THE OWLS OF GA'HOOLE 3D




























"On his way to finding a legend...he will become one."

Legend of the Guardians: The Owls of Ga'Hoole diangkat dari buku karangan Kathryn Lasky berjudul Guardians of Ga'Hoole. Ini merupakan film pertama dari trilogi yang sudah direncanakan. Saya menonton versi 3D, karena tentu saja 3D merupakan faktor utama yang dijanjikan film ini. Sang sutradara, Zack Snyder, juga termasuk salah satu faktor yang membuat saya penasaran akan bagaimana jadinya sebuah film animasi di tangan sutradara seperti dirinya. Snyder sudah pernah menyutradarai beberapa film yang lumayan saya sukai, sebut saja Dawn of the Dead (2004), 300 (2006), dan Watchmen (2009). Tahun 2011 mendatang akan ada dua proyek Snyder yang juga patut ditunggu, yaitu Sucker Punch dan sekuel lanjutan 300, Xerxes.

Film animasi ini bercerita tentang dua bersaudara Soren (Jim Sturgess) dan Kludd (Ryan Kwanten), burung hantu muda yang sedang belajar terbang. Tidak disengaja mereka yang sedang berlatih di dahan pohon malah terjatuh ke dasar dan tidak bisa naik kembali keatas. Akibatnya, mereka berdua diculik oleh sekawanan burung hantu jahat yang menyebut diri mereka 'Pure Ones'. Mereka dibawa ke sebuah tempat menyeramkan, dimana banyak burung hantu muda lainnya dihipnotis agar mau menjadi budak penguasa disana. Dengan bantuan dari Grimble (Hugo Weaving), Soren dan teman barunya Gylfie (Emily Barclay) berhasil kabur dan menuju ke Ga'Hoole. Konon Ga'Hoole merupakan sebuah tempat berkumpulnya para burung hantu baik, 'The Guardians'. Soren sudah sering mendengar cerita ini dan seakan terobsesi, namuan selama ini ia tidak tahu menahu tentang kenyataannya. Ia dan Gylfie pun lalu nekat terbang menuju Ga'Hoole, sedangkan Kludd lebih memilih menjadi prajurit bagi 'Pure Ones'. Di perjalanan, Soren dan Gylfie berkenalan dengan dua teman baru, Digger (Leigh Whannell) dan Twilight (Anthony LaPaglia). Mereka berempat berusaha menemukan Ga'Hoole guna menemui para penjaga disana dan meminta bantuan.

Seperti yang sudah saya bilang diatas bahwa faktor 3D merupakan faktor utama yang disuguhkan film animasi ini. Jalan ceritanya terbilang lumayan, namun tidak terlalu istimewa. Unsur komedi tidak terlalu terasa, demikian juga adegan pertempuran yang ada. Semua biasa-biasa saja. Namun, semua itu tertolong dengan adanya teknologi 3D yang baik disini. Adegan pertempuran dan beberapa adegan slow-motion terasa begitu indah dan 'eye-popping'. Latar belakang serta suasana pemandangan dalam film ini pun terlihat nyata dan sedap ditonton dibalik kacamata 3D. Penggambaran karakter-karakter burung hantu disini juga terbilang lucu dan mudah disukai penonton. Saran saya, jika ingin menonton film ini pilihlah yang versi 3D. Setidaknya anda bisa menikmati sensasi 3D yang ada. Namun, karena tahun 2010 ini banyak didominasi oleh film-film animasi dengan kualitas diatas rata-rata, tampaknya film animasi burung hantu Ga'Hoole ini tidak akan terlalu membekas di ingatan penonton. :)