total ping

Tampilkan postingan dengan label DOCUMENTARY. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label DOCUMENTARY. Tampilkan semua postingan

Jumat, 03 Desember 2010

12th JIFFEST 2010 - SHORT REVIEWS: WAITING FOR SUPERMAN, SON OF BABYLON, THE BLUE MANSION















Waiting for Superman - USA


Waiting for Superman adalah sebuah film dokumenter hasil karya David Guggenheim (An Inconvenient Truth) yang menyorot masalah pendidikan di Amerika Serikat. Pahlawan di film ini adalah seorang pengajar dan aktivis sosial bernama Geoffrey Canada. Pada masa mudanya, Canada percaya bahwa Superman benar-benar nyata dan ia sedih begitu tau kalau hal itu tidak ada pada kehidupan nyata. Ia akhirnya menyadari kalau Superman hanya ada di dunia fantasi. Untuk para murid yang sedang belajar dan kecewa dengan sistem edukasi sekarang, tidak ada satupun 'Superman' yang datang dan menyelamatkan keterpurukan edukasi di masyarakat. Akhirnya pada tahun 1990, Canada mendirikan sebuah sekolah bernama Harlem Children's Zone yang berhasil menaikkan jumlah lulusan SMU yang beranjak ke perguruan tinggi di daerah Harlem. Juga ada pahlawan lain disini yaitu Michele Rhee, seorang ketua konselor pendidikan khusus untuk daerah Washington D.C. yang berusaha mati-matian membangun sistem pendidikan publik agar menuju ke arah yang lebih baik. Film ini juga menelusuri empat orang siswa yang sedang berjuang mengikuti arus keras sekolah publik. Banyaknya halangan yang menghadang sistem pendidikan diceritakan dengan gamblang dalam film ini, khususnya di Amerika.


>>> Sebuah film dokumenter yang sangat penting untuk ditonton. Dari film ini kita bisa melihat betapa dipersulitnya sistem pendidikan di Amerika Serikat (well, bukan hanya di Amerika saja tentunya). Meskipun mereka negara maju, tetapi fakta yang dibeberkan dalam film ini membuktikan kalau jumlah pemegang gelar sarjana disana tidak banyak, bahkan banyak yang tidak sampai lulus SMU. Perusahaan-perusahaan besar Amerika seperti contohnya Google, harus sampai mencari ke luar negeri untuk menemukan karyawan yang memenuhi kualifikasi mereka. Sistem yang sudah ruwet sedemikian rupa tentunya sulit untuk diluruskan kembali. Film ini membuka mata saya kalau pendidikan itu memang sangat penting dan secara tidak langsung hal ini lah yang menjadi akar pegangan seseorang untuk tidak menjadi seorang kriminal. Peran guru juga sangat disorot disini, tentu saja itu bukan sebuah pekerjaan yang gampang. Guru-guru yang tidak bertanggung jawab juga tentu masih banyak tersebar dimana-mana, sangat disayangkan sekali. Bahkan anak yang sangat pintar sekalipun kesulitan untuk masuk ke sekolah 'bagus' karena terbentur dengan ketersediaan tempat sangat terbatas disana.


♥♥♥


Son of Babylon Iraq


Irak Utara, tahun 2003. Dua minggu setelah jatuhnya Saddam Hussein, Ahmed (Yasser Talib); seorang bocah ceria berumur 12 tahun dan neneknya mendengar berita bahwa para tawanan perang masih ada yang ditemukan hidup di Selatan. Sang nenek pun bertekad menuju kesana dengan harapan dapat bertemu dengan anaknya; ayah Ahmed, yang sudah bertahun-tahun lamanya tidak pernah pulang semenjak pergi berperang. Perjalanan mereka pun dimulai, menelusuri jalanan dengan uang yang sedikit dengan berbagai rintangan yang harus mereka hadapi, sampai banyaknya orang asing yang mereka temui dalam perjalanan. Ahmed yang sejak kecil tidak pernah mengenal ayahnya mau tak mau harus menemani sang nenek yang sudah hampir putus asa mencari anaknya yang nasibnya tidak jelas.


>>> Awal film saya tertawa karena melihat tingkah Yasser Talib yang berperan sebagai Ahmed dengan sangat baik. Keceriaannya sangat terpancar pada awal film. Seiring film berjalan, perhalan keceriaan itu pun sirna. Melihat bocah bersama neneknya yang sudah tua pergi berkelana mencari sang ayah sungguh membuat hati saya sedih. Apalagi kenyataannya tidak seindah yang saya bayangkan di awal. Hampir menangis saya dibuatnya pada akhir film ini. Akting Yasser Talib sangat jempolan, emosi ceria, kecewa, sedih, terpancar jelas diwajahnya, meskipun suaranya menurut saya sedikit ‘cempreng’ dan membuat telinga agak sakit. Hehe.. Tapi secara keseluruhan, Son of Babylon adalah sebuah film yang memperlihatkan kepedihan para keluarga yang anggota keluarganya hilang entah kemana dengan nasib yang sama sekali tidak diketahui karena kekejaman Saddam Hussein. Yes, one of the best movie in Jiffest this year!


♥♥♥


The Blue Mansion - Singapore


The Blue Mansion bercerita tentang kematian mendadak yang dialami oleh orang paling kaya di Singapura, Wee Bak Chuan (Patrick Teoh). Kematiannya diduga akibat serangan jantung, lalu ia terjatuh dan dahinya membentur lantai. Tidak disangka, arwah sang milyarder masih berkeliaran di rumahnya dan melihat reaksi orang-orang terdekatnya setelah ia meninggal. Tidak disangka, dua anak laki-lakinya; Wee Teck Liang (Kay Siu Lim) dan Wee Teck Ming (Adrian Pang), malah lebih memusingkan harta dan jabatan, rekan-rekannya jugaternyata tidak terlalu suka padanya, bahkan para pembantu rumahnya juga suka bergosip dibelakang. Tiba-tiba seorang detektif datang dengan membawa berita yang mengagetkan seisi rumah, ia memiliki dugaanbahwa Wee Bak Chuan kemungkinan mati dibunuh. Keluarganya pun berusaha menelusuri kasus ini, begitu juga dengan sang arwah penasaran.


>>> Melihat sinopsis diatas anda pasti berfikir kalau ini film horror. Eitss..anda tertipu! Ini film komedi. Sang hantu yang gentayangan itu juga tidak seram koq, malah membuat penonton tertawa terus. Film ini memakai bahasa inggris, tetapi yang dipakai tentu saja singlish (singapore english) yang logatnya kadang kala membuat saya mendengar dengan jelas. Akting para pemain menurut saya so-so, biasa-biasa saja. Tapi overall saya lumayan terhibur dengan film ini. The Blue Mansion bisa dibilang menjadi film Jiffest pertama (sebelum Scott Pilgrim) yang membuat otak saya sedikit mengendur setelah di awal menonton film-film festival yang 'berat'. Ceritanya sendiri bukanlah hal yang orisinil, komedi dalam film ini juga sepertinya sengaja dibuat kearahteatrikal. Tapi yaa seperti yang saya bilang tadi, paling tidak saya terhibur.



♥♥♥

Kamis, 08 Juli 2010

REVIEW: THE COVE




























"How much do you love dolphins?"

Siapa sih yang tidak suka dengan ikan lumba-lumba? Waktu kecil saya sering diajak ke tempat wisata di daerah Jakarta Utara untuk melihat atraksi lumba-lumba, seperti melihat sebuah sirkus! Disana saya juga pernah difoto oleh ayah saya ketika sedang mencium lumba-lumba, sebuah kenangan yang tidak terlupakan. Saya yakin diantara para pembaca sekalian pasti ada yang memiliki pengalaman serupa. Akan tetapi dulu saya masih terlalu kecil, saya belum menyadari kalau binatang-binatang sirkus itu diperdaya demi uang. Sekarang saya malah merasa kasihan melihat binatang-binatang dalam sirkus, memang menghibur; apalagi untuk anak kecil, tapi saya tidak berani membayangkan betapa tertekannya mereka karena dipaksa melakukan atraksi yang sebetulnya tidak ingin mereka lakukan. Ternyata ada yang lebih mencengangkan lagi daripada itu, The Cove menguak sebuah pembantaian ikan lumba-lumba yang terjadi di Jepang! :""'(

















Film ini adalah sebuah film dokumenter yang disutradarai oleh Louie Psihoyos. Di awal film kita diperkenalkan kepada Richard O'Barry, seorang mantan pelatih lumba-lumba yang handal, ia juga dikenal karena pernah membintangi serial televisi terkenal tentang lumba-lumba berjudul Flipper pada tahun 1960-an. Ia bukan hanya membintangi film tersebut, tapi juga melatih lima ekor lumba-lumba yang bermain disana dan menampung mereka di danau dekat rumahnya. Ketika seekor dari lumba-lumba itu mati karena stress, Ric pun sadar kalau mengeksploitasi mereka bukan lah hal yang benar. Sejak saat itu ia memutuskan untuk menjadi seorang aktivis pecinta lumba-lumba. Bertahun-tahun melatih lumba-lumba membuat Ric faham betul gerak-gerik mereka, bahkan sudah seperti ada ikatan batin antara dirinya dengan binatang tersebut. Ia yakin sekali kalau lumba-lumba adalah binatang dengan tingkat kepintaran yang luar biasa.

















Mendengar desas-desus tentang pembantaian lumba-lumba di Jepang, Ric dan para kru memutuskan untuk mencari kebenaran sekaligus menjadikannya sebuah film dokumenter. Daerah yang mereka tuju adalah Taiji. Memasuki kota Taiji seperti memasuki sebuah kota yang berkedok pecinta lumba-lumba. Kota tersebut dihiasi segala pernak-pernik lumba-lumba, mulai dari umbul-umbul, kapal, museum, dan yang lainnya, persis seperti kota wisata lumba-lumba. Akan tetapi ada satu daerah terlarang di pinggir pantai Taiji, sebuah teluk kecil yang sangat dijaga ketat. Sebuah tempat yang sangat mencurigakan. Disanalah Ric dan kawan-kawan akan menguak kebenarannya. Bermodalkan strategi yang matang dan alat-alat bantuan, mereka memulai pengintaian di sekitar teluk. Hal yang tidak mudah dilakukan karena nelayan setempat sangat menjaga dan menutup rapat rahasia besar itu.

















Kalau film dokumenter biasanya membosankan, berbeda dengan The Cove. Dari awal kita disuguhkan dulu informasi tentang lumba-lumba, lalu kita diajak mengikuti Ric dan para kru ke Taiji, kita juga seakan ikut merasakan bagaimana susahnya mereka mendapatkan informasi tentang pembantaian itu, sampai pada akhirnya kita diperlihatkan kekejian yang terjadi dibalik teluk kecil tersebut. Saya sendiri sampai tidak dapat berkata-kata melihat air laut yang tadinya biru menjadi merah karena bercampur darah puluhan lumba-lumba yang dibantai para nelayan setempat. Hal ini terjadi setiap hari! Setiap hari sekelompok lumba-lumba ditangkap dan dibantai, begitu seterusnya. Masyarakat Jepang di daerah lain pun tidak mengetahui tentang adanya pembantaian ini, pemerintah seperti menutup rapat tentang apa yang terjadi dibalik teluk di Taiji. Miris sekali menonton The Cove. Apalagi pada akhir film disajikan sebuah adegan yang betul-betul membuat klimaks film ini sangat tersampaikan. Perasaan saya campur aduk ketika menyaksikan adegan akhir itu; sedih, haru, bangga, dan puas. Selesai menonton film ini, hati anda akan tersentuh. The Cove adalah sebuah film dokumenter yang wajib ditonton. Fakta membuktikan kalau sejak akhir tahun 2009 lalu, sudah sekitar 23.000 ekor lumba-lumba yang dibantai dengan keji, lalu apa yang harus kita perbuat? ☹ ☹ ☹ ☹ ☹ ☹ ☹ ☹ ☹ ☹ ☹ ☹





Minggu, 10 Januari 2010

BABIES - THE CUTEST MOVIE EVER!
























"Everybody loves ... BABIES!"


Siapa sih yang tidak suka dengan bayi-bayi yang lucu nan imut ini? Saya yakin semua orang pasti suka melihat tingkah pola para bayi yang menggemaskan, apalagi para perempuan. Well, memang kalau bayi sih masih lucu, asal jangan 5 tahun keatas, pasti sudah bandel dan bikin pusing kepala. Haha.. Film dokumenter berjudul BABIES ini sudah pasti akan menyuguhkan anda tentang dunia bayi. Semua bayi di dunia akan diwakilkan oleh keempat bayi di film ini, mereka semua berasal dari tempat yang berbeda-beda. Yang pertama, ada baby Ponijao dari Opuwo, Namibia. Lalu, baby Bayarjargal yang tinggal di daerah Bayanchandmani, Mongolia. Selanjutnya, baby Mari dari Tokyo, Jepang. Dan yang terakhir, baby Hattie yang tinggal bersama keluarganya di San Fransisco, California. Ketika pertama kali melihat posternya saya langsung tertarik untuk menonton dan sewaktu menonton trailernya saya semakin antusias. Bayi memang mempunyai dunia mereka sendiri, yang tidak bisa dimengerti oleh kita (re: orang dewasa). Mereka asyik bermain, tertawa, menangis, merengek, dan berkomunikasi dengan cara mereka sendiri. Seperti halnya orang dewasa yang mempunyai karakteristik yang berbeda-beda, film ini juga mencoba untuk menguak kebenaran bahwa dalam sosok seorang bayi pun perbedaan kepribadian itu sudah terlihat. Dari mulai mereka baru lahir sampai ketika dimana mereka melangkahkan kaki pertama kali. Babies rilis di Amerika pada April 2010. Harus cari dvdnya nih. Pokoknya film ini akan jadi film paling imut sedunia! :)

Pemain :
Baby Ponijao
Baby Bayarjargal
Baby Mari
Baby Hattie
Sutradara :
Thomas Balmes

Kamis, 10 Desember 2009

SHORT JIFFEST MOVIE REVIEWS : MAMMOTH, COCO AVANT CHANEL, EVERLASTING MOMENTS, & LOVE THE BEAST




























Mammoth adalah film tentang sebuah keluarga kecil yang setiap individunya mempunyai masalah dan pemikiran masing-masing. Bukan hanya di dalam film ini saja, di keluarga dan orang-orang sekeliling kita pun pasti mempunyai jalan pikirannya sendiri. Film ini memperlihatkan kita bagaimana suatu masalah dilihat dari sudut pandang yang berbeda-beda. Gael Garcia Bernal dan Michelle Williams cukup cocok bermain sebagai sepasang suami istri muda di jaman modern seperti sekarang, meskipun di film ini mereka lebih banyak berada dalam frame berbeda. Sang anak yang diperankan Sophie Nyweide sangat lucu dan menggemaskan, bisa jadi saingan anak-anak lain di Hollywood nih! Mammoth bukan hanya drama keluarga seperti film biasa, cerita yang simple dan tidak biasa ini lah yang mengandung banyak pelajaran yang bisa kita petik dalam kehidupan. Bagi sebagian orang mungkin akan bosan karena durasi yang panjang, tapi kalau dihayati, film ini mengandung esensi kehidupan yang sebenarnya.





























Sedikit kecewa! Saya berharap kalau film ini akan menampilkan sisi seorang Gabrielle Chanel yang dengan susah payah membangun usaha fashionnya menjadi sebuah brand fashion raksasa dunia. Tapi ternyata film ini malah hanya menyuguhkan sisi percintaaannya saja. Saya tidak bilang kalau film ini jelek, hanya saja tidak sesuai dengan ekspektasi saya. Percintaan disini juga tidak istimewa, malah sedikit membosankan dan monoton untuk saya. Mungkin karena saya selalu menanti kapan sisi fashionnya akan diselipkan, ternyata sangat sedikit sekali. Tapi seperti biasa, Audrey Tatou tampil sangat brilian disini, pas sekali memerankan tokoh Coco Chanel. Harapan yang terlalu besar lah yang sepertinya membuat saya kecewa dengan Coco Avant Chanel.





























Film Swedia ini bercerita tentang kehidupan seorang wanita bernama Maria Larsson (Maria Heiskanen) yang memenangkan undian lotere berhadiah sebuah kamera. Karena tidak tahu cara penggunaannya kamera tersebut hanya disimpan di lemari. Bertahun-tahun kemudian ketika sudah menikah dengan Sigfrid Larsson (Mikael Perstbrandt) dan mempunyai beberapa orang anak, Maria dan keluarga mengalami kesulitan ekonomi. Secara tidak disengaja Maria menemukan kamera yang dimenangkannya dulu, lalu ia berencana untuk menjualnya. Akan tetapi nasib berkata lain. Ternyata dari kamera tersebut akhirnya Maria berhasil meringankan beban keluarganya dengan hasil fotonya yang luar biasa. Film keluarga yang indah kalau menurut saya. Dengan pendalaman tiap karakter yang sangat detail, membuat kita merasa mengenal karakter dalam film ini, terutama Maria Larsson. Gambar film ini pun terasa sangat klasik dan indah dengan nuansa warna sephia. Menurut saya film ini cantik, klasik, dan didukung dengan sentuhan vintage yang indah.





























Love the Beast ini film dokumenter yang bercerita tentang Eric Bana dan mobil kesayangannya, Beast. Disutradarai langsung oleh Eric sendiri. Film ini menyajikan kehidupan seorang Eric Bana yang terobsesi dengan dunia balap dan sangat mencintai mobil Ford Falcon XB Coupe yang dibelinya sejak berusia 15 tahun. Ikatan yang sangat erat antara ia dan mobilnya itu dibeberkan dengan jelas disini. Dari waktu ia belum menjadi artis Hollywood terkenal, Beast (re: nickname mobil Eric) lah yang setia menemani. Saya suka dengan film ini, karena mungkin saya juga suka dengan Eric Bana. Kalau kamu kurang suka dengan dunia otomotif dan tentunya Eric Bana sendiri, saya tidak menyarankan untuk menonton film ini. Meskipun sebenarnya di film ini ada makna bagus yang dapat diambil yaitu kecintaan seseorang dengan benda mati. Sebuah benda yang mempunyai sejarah khusus dengan kita, ikatan yang sangat kuat dan tidak dapat digantikan dengan apapun. Saya sangat suka dengan segmen obrolan Eric dengan Jay Leno dan Dr.Phil McGraw disini, sangat inspiratif sih menurut saya. Overall, saya sangat menikmati sekali. :)

Kamis, 29 Oktober 2009

REVIEW : THIS IS IT




























"Like You've Never Seen Him Before"

Forget everything you think you know about Michael Jackson. Forget the scandals, the surgeries, the rumors, the mysteries. Just let it all go and admit that Michael Jackson was the greatest entertainer in the history of mankind. I went to see this movie as a non-Michael Jackson fan with absolutely no expectations. Terus terang saya bukan fans MJ, tapi saya tahu lagu-lagunya, tahu seberapa terkenalnya dia, dan tahu betapa banyak penggemarnya yang tersebar di seluruh pelosok dunia. He is a legend, don't ask me why. This Is It menurut saya berhasil memuaskan para fans maupun non-fans MJ untuk terakhir kalinya. Dari awal film sampai akhir kita disuguhkan lagu-lagu dan tarian yang bergitu mempesona, diselingi wawancara orang-orang yang terlibat dalam pembuatan konser ini. The song, the dance, the perfomance was AWESOME! I was completely blown away and entertained from beginning to end. His voice and his dance moves are top form and timeless. A consummate artist, a perfectionist, and a visionary. The film is overflowed with his energy, passion, and dedication. Sedih juga yaa MJ udah ga ada lagi, entah kapan ada orang yang bisa sehebat dia. Saya rasa mungkin ga akan ada yang bisa menandingi pesona MJ, suaranya, tariannya, sensasi kehidupannya, dll. Dengan melihat film ini kita jadi tahu kenapa MJ bisa seterkenal sekarang, dia sangat amat perfeksionis. Dia benar-benar tau apa yang dia mau. Hebat! There was so much creativity, sweetness, professionalism, understanding, effort, energy in this film. The professionalism and patience of Kenny Ortega (the producer) was outstanding, he was perfect for this whole production, the cast was phenomenal (especially all the dancers and that female guitarist, she rocks!), MJ was awesome. Come on! 50 years old and dancing, singing like that? Absolutely amazing. This is a must-see for every MJ fan and even non-fans to understand why he was so popular and deserved every bit of the title King of the Pop. He did really give us a final precious work, "this is it"...



Kamis, 09 Juli 2009

THE SEPTEMBER ISSUE




























"A documentary chronicling Vogue editor-in-chief Anna Wintour's preparations for the 2008 fall-fashion issue"

Buat yang suka fashion pasti ga akan ketinggalan yang satu ini. The September Issue adalah film dokumenter yang mengungkap realita dalam diri Anna Wintour, seorang pimpinan majalah fashion terbesar di dunia, Vogue. Menceritakan bagaimana persiapan yang dilakukan untuk edisi bulan September. Para fashionista pastinya tahu bahwa pada setiap bulan September majalah Amerika ataupun Inggris pasti selalu adu ketebalan majalah, bulan September lah saatnya unjuk gigi. Untuk itu kita pun akan disuguhkan bagaimana usaha teman-teman di Vogue, termasuk Anna Wintour sendiri dalam mengurus edisi September yang tebalnya minta ampun. Dengan menonton film ini rasa penasaran kita akan kemegahan 'Vogue' pasti dapat tersalurkan. Sebelumnya sudah ada film yang mengangkat tema bekerja di sebuah majalah, misalnya The Devils Wears Prada. Disana diceritakan bahwa memang pusing sekali bekerja di majalah fashion, selalu deadline, harus berbusana up-to-date, belum lagi si 'boss' yang banyak maunya. Nahh..mendingan sekarang kita lihat langsung saja gimana sih sebenarnya Anna Wintour dalam menangani Vogue, apa benar segalak di The Devils Wears Prada? Cari DVDnya ahh.. :p~